Epilog

48.3K 2.5K 63
                                    

"LO foto apaan sih, Fan? Keknya tiap hari bawa kamera mulu."

Rafandra Devan Alexander menoleh ke sampingnya, tepatnya ke arah Anggi Subagyo yang tengah bersandar di pembatas kelas sambil makan cireng dengan semangat.

"Foto pemandangan," sahut Rafandra sambil mengarahkan lensa kameranya ke arah pohon beringin yang berada di depan ruang lab komputer.

"Iyee, buat apa begitu? Tiap hari keknya kagak ada perubahaan apa-apa di sekolah kita. Ngapain juga lo fotoin terus? Mending foto muka gue yang cakep ini," ujarnya seraya mengusap rambutnya dengan sebelah tangan yang berlumuran minyak dari cireng yang dimakannya.

"Setiap momen itu beda, Gi. Siapa yang tau besok? Bisa aja tiba-tiba pohon besar itu ditebang, abang-abang tukang mie ayam di kantin pensiun, atau lo loncat dari atas sini karena frustrasi ditolak cinta sama adek kelas," kata Rafandra sambil menunjuk-nunjuk hal untuk mempertegas maksud dari ucapannya.

Anggi terbahak tidak percaya. "Sorry sorry aja nih, Fan. Gue ini tipikal cowok jantan. Kalau ditolak cewek daripada bunuh diri, mending cari cewek baru," sahutnya.

Rafandra menyipitkan matanya. "Emang bisa begitu?" tanyanya heran.

"Bisa gimana?"

"Bisa jatuh cinta dua kali."

"Yaa bisa," balas Anggi tidak memahami pertanyaan dari Rafandra. "Emangnya manusia cuma bisa jatuh cinta satu kali doang? Selama ini lo udah berapa kali jatuh cinta?"

"Satu kali," jawab Rafandra langsung.

"Udah pacaran?"

Rafandra menggeleng. "Dia nolak perasaan gue," jawabnya jujur.

"Yaelah, tinggal move on sih. Cari cewek baru yang lebih cakep dari dia," kata Anggi memberi saran.

Rafandra tidak menjawab, pandangannya terarah pada seorang gadis yang tengah duduk di depan kelasnya sendirian sambil menatap layar ponselnya. Sesekali tersenyum, entah apa yang sedang dilihatnya. Kenapa gadis itu terlihat sangat cantik jika tersenyum manis seperti itu?

"Gue kayaknya gak bisa kayak gitu, Gi," gumam Rafandra.

"Kenapa? Lo cakep, kagak miskin juga, banyak cewek yang pasti naksir sama lo."

Rafandra tersenyum kecil. "Gak tau ya, tapi ini lebih ke prinsip. Kalau gue udah ngerasa jatuh cinta sama orang—bukan sekadar naksir atau semacamnya—gue bakal kejar dia mati-matian," ucapnya.

"Kalau cewek itu bukan jodoh lo gimana? Mau lo nunggu sampe janda?"

Rafandra tertawa lalu memukul bahu Anggi dengan tangan kanannya yang terkepal. "Bangsat lo!" cetusnya. "Ya enggaklah, gue bakal usaha semampu gue. Kalau dia bukan jodoh gue yaudah, gakpapa. Gue berharap dia bahagia," lanjutnya santai.

"Terus lo gimana?" tanya Anggi yang tidak mengerti pola pikir temannya itu.

"Gak gimana-gimana, gak usah nikah aja," balas Rafandra tanpa beban.

"Hah?"

"Gini, Gi," kata Rafandra tidak sabar. "Beberapa manusia itu kan punya prinsip hidup, nah gue juga gitu. Bagi gue jatuh cinta itu cukup sekali, sampe nikah, dan sampe maut memisahkan. Jodoh atau enggaknya itu urusan Tuhan, yang penting usaha aja dulu. Menurut gue itu baru cowok jantan." Setelah mengucapkan itu, Rafandra menepuk-nepuk bahu Anggi lalu berjalan memasuki ruang kelasnya.

"Dasar gak normal. Kenapa ya Tuhan bisa-bisanya ngasih muka dia cakep? Kenapa gak gue aja yang cita-citanya pengen punya sepuluh pacar? Gak adil."

Spring Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang