"APA? Lo hampir bunuh Rafandra?" pekikan keras itu membuat Lingga sedikit menjauhkan ponselnya. Ia menggigit kuku jarinya dengan menghentak-hentakkan kaki karena ketakutan.
"Gue bakal ceritain lengkapnya sama lo nanti, Cup. Janji deh. Cuma lo bisa gak dateng ke rumah sakit Medica sekarang? Gue gak bisa ngurus beginian sendirian," kata Lingga pada sahabatnya di ujung sana.
"Sumpah, gue speechless banget dengernya! Gue tau di dunia ini lo benci sampe mati sama Rafandra, tapi gue gak nyangka lo beneran mau matiin dia, Li," seru Ucup takjub sekaligus ngeri. Ia tidak menyangka Lingga akan bertindak senekat itu. Kalau dipikir-pikir, Lingga cukup menakutkan juga. Sebaiknya mulai saat ini, Ucup harus waspada dan menjaga sikap pada gadis itu, itu pun kalau dirinya tidak mau bernasib sama seperti Rafandra.
"Aduh," Lingga meringis. "Bisa nanti aja gak bahas itunya? Gue lagi butuh bantuan lo nih. Buruan ya ke sini, gue tunggu." Tanpa menunggu sahabatnya membalas perkataannya, Lingga segera mematikan panggilan telepon tersebut.
Lingga mengacak-ngacak rambutnya gusar, tak memungkiri ia stress bukan main karena apa yang terjadi hari ini tidak pernah diduganya sama sekali.
Pandangan Lingga teralih pada seorang laki-laki yang sudah mengenakan pakaian pasien, dan tengah terbaring di ranjang rumah sakit kelas satu—karena hanya ruangan itu yang tersisa. Lingga menatap ponsel berwarna hitam yang ada di tangannya, ponsel milik Rafandra yang tadi sempat diberikan perawat kepadanya. Bukannya seharusnya Lingga segera menghubungi orangtua Rafandra? Tapi bagaimana kalau mereka tahu bahwa dirinya yang membuat anaknya masuk rumah sakit?
"Bunuh diri aja kali ya?" gumamnya seperti ingin menangis.
Tak lama kemudian, Ucup akhirnya datang. Lingga sedikit merasa lega, setidaknya ia tidak sendirian menghadapi bencana ini.
"Gila! Ini semua perbuatan lo?" tanya Ucup sambil melihat Rafandra yang tertidur di ranjang rumah sakit, ia bahkan menggunakan selang infus.
"Gue gak bakal masuk penjara, kan?" Lingga menyentuh lengan Ucup, meminta tanggapan sahabat baiknya itu. Ucup mengerjap-ngerjap, kemudian dengan ragu menggelengkan kepalanya.
"Mending lo siap-siap aja deh, Li. Feeling gue kayaknya lo bakal dilaporin ke polisi," kata Ucup yang sama sekali tidak membantu. Kontan Lingga langsung memukul kepala temannya hingga menimbulkan suara.
"Temen lo lagi susah nih, kasih solusi kek!" cetusnya dongkol.
Ucup menggelengkan kepalanya. "Nggak, Li, gue serius. Soalnya ini udah masuk percobaan pembunuhan. Kalau nih orang sampe koit, lo bisa dihukum mati atau di penjara seumur hidup," kata Ucup dengan sungguh-sungguh. Wajah Lingga kian memucat, tubuhnya hampir saja oleng kalau dirinya tidak berpegangan pada Ucup. Oh my...
"Oh ya, lo udah nelepon kerabat atau orangtuanya, Li?"
***
Semalaman Lingga sama sekali tidak bisa tidur. Ia terbebani dengan isi pikirannya sendiri hingga membuatnya kantuknya menghilang. Rasa letih yang ia rasakan sebelumnya seketika lenyap tergantikan dengan perasaan takut. Terlebih lagi Rafandra belum kunjung terbangun, dan Lingga masih ragu apakah ia perlu menghubungi orang kantor, khususnya sekretaris Rafandra. Karena ponsel Rafandra terkunci, Lingga tidak bisa menghubungi orangtua laki-laki itu, otomatis satu-satunya orang yang bisa membantunya hanya Fifi. Tapi ia tidak berani...
Lingga memejamkan matanya kuat-kuat, ia menoleh ke sampingnya yang di mana terdapat Ucup yang sedari tadi sudah terlelap di sofa. Kalau saja Karin mudah memproses sesuatu dengan cepat, tidak mudah histeris, dan tidak mudah panik, Lingga sudah pasti menghubungi gadis itu ketimbang laki-laki di sebelahnya ini yang tidak berguna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Romance (END)
Ficción GeneralLingga Paramitha dikenal sebagai biang gosip paling top di bagian divisi pemasaran. Semua gosip dari golongan A sampai golongan Z, ia tahu sepenuhnya. Meskipun begitu, ia sangat menyukai kehidupannya. Kalau bisa dibilang, ia memang suka mendengar ki...