Bab 4 - Long time no... SHIT!

56.6K 4.9K 40
                                    

LINGGA tidak salah ketika mengatakan bahwa hadirnya Rafandra bagai mimpi buruk baginya. Seluruh pegawai perusahaan dibuat geger dengan kehadiran sosok tampan menawan bernama Rafandra. Dan parahnya lagi, semua tentang Rafandra hampir semua berisi pujian.

Bagi Lingga, jelas hal itu bukan berita baik. Ia sudah berekspektasi tinggi untuk membuat Rafandra terluka, tapi orang-orang malah menyukainya. Ini sih namanya bencana.

"Kayaknya hubungan gue terancam kandas di tengah jalan deh, Li," gumaman lemah itu membuat Lingga menoleh cepat ke sampingnya. Dahinya mengerut bingung ketika melihat Muhammad Alif memilih duduk di sampingnya saat mereka sedang makan siang di kantin perusahaan.

Pandangan Lingga teralih pada teman-temannya—lebih tepatnya hampir seluruh pegawai Divisi Pemasaran—duduk di kursi panjang yang sama dengan Rafandra beserta sekretarisnya.

"Tenang aja, Lif. Cowok ganteng biasanya cuma buat dikagumi, bukan dimiliki. Lagian cowok ganteng macem gitu seleranya udah pasti bukan si Icha," cetus Lingga seraya memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya.

"Si Icha cakep tau," pekik Alif tidak terima.

"Lagian kok lo sendirian di sini sih? Kagak ikut gabung makan siang bareng tuh cowok ganteng," ujar Alif menunjuk objek yang dituju sebagai penegasan ucapannya.

"Ngapain?" balas Lingga kesal. "Kedatangan dia itu gak membantu apa-apa lagi, masa masih harus diajarin dulu jobdesk-nya apa, padahal seharusnya baca proposal pemasaran aja udah tau strategi yang harus dia lakuin gimana. Itu juga kalau bener dia profesional," gerutu Lingga tidak bisa menyembunyikan nada tak suka dari suaranya.

Alif terkekeh geli. "Buset dah sadis banget bacot lo," gumam Alif mengusap dada. "Eh tapi, menurut gue dia emang harus beradaptasi dulu lah, masa langsung ngatur-ngatur divisi kita gitu aja," balas Alif.

"Yah emang kalau boleh dibilang sih, gue sebenernya gak suka juga sama dia, soalnya sok ganteng dan sok ramah. Jatohnya kayak menjilat buat ngambil hati para karyawan cewek," tambah Alif lagi dengan nada mencibir.

Lingga mengangguk membenarkan. "SKSD gak sih keliatannya? Dikira muka dia ganteng banget apa? Gak jelas," balas Lingga mengebu-ngebu. Namun tak lama kemudian ia menyadari sesuatu yang seperti celah untuk memulai peperangan yang hendak ia rencanakan. Kalau para pegawai perempuan tidak bisa dipengaruhi, maka Lingga akan menggunakan pegawai laki-laki sebagai target pembalasan dendam.

Lingga berdeham kecil. "Eh tapi Lif, kalau tuh orang ramahnya kelewatan gitu, bisa-bisa si Icha baper lho. Lo gak takut si Icha malah pindah hati sama tuh cowok? Apalagi kita bakal ketemu tiap hari. Dia mungkin bener-bener bisa ngancurin hubungan lo sama si Icha," kata Lingga berniat menghasut Alif agar semakin tidak menyukai Rafandra.

Alif terkekeh kecil. "Ya kali Li..."

"Yah, gak tau juga sih." Lingga mengangkat bahu. "Cuma ini pengalaman gue aja, kadang kalau ngeliat cowok menawan tiap hari apalagi ramah banget sama gue, udah pasti bikin baper," ucap Lingga dramatis. Alif terdiam, merenungi apa yang dikatakan Lingga. Apa mungkin?

"Hati-hati aja Lif, gak ada yang gak mungkin kalau direktur baru kita bakal naksir Icha, atau justru sebaliknya," tambahnya sambil menepuk bahu Alif dengan sebelah tangan. Tampaknya Alif terpengaruh akan ucapan Lingga tersebut, kini pandangannya teralih pada Icha yang tampak tersenyum lebar saat direktur marketing mengatakan sesuatu kepada mereka.

Lingga tersenyum samar melihat ekspresi Alif. "Gue balik ke kantor dulu ya," kata Lingga sembari membawa piring makannya menuju tempat pembuangan makanan sisa, sebelum akhirnya ditaruh di meja untuk bagian piring kotor.

"Apa kabar, Li?"

Gerakan Lingga tiba-tiba terhenti begitu saja, saat suara laki-laki terdengar dari belakang punggungnya. Sontak ia menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang menyapanya dengan suara selembut itu. Namun yang ia lihat adalah seseorang yang sangat ia benci dalam hidupnya.

Sejak kapan laki-laki bajingan ini ada di belakangnya?

"Kamu masih inget kan sama aku?"

Rafandra tersenyum tidak tahu diri di depannya, seolah-olah ia memang berhak melakukan itu, seolah-olah ia tidak pernah merasa bersalah atas apa yang dilakukannya kepada Lingga di masa lalu.

"Maaf ya gak sempet nyapa sebelumnya, soalnya aku juga kaget ketemu kamu. Kebetulan banget ya, Li?" tanya Rafandra dengan nada ramah. Sayangnya, sikap ramah Rafandra tidak berdampak apa-apa pada Lingga.

Kebetulan pantat lo, gerutu Lingga dalam hati.

"Iya," jawab Lingga sesopan mungkin, sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang dilayangkan Rafandra padanya.

"Kamu udahan makannya?" tanya Rafandra melirik piring yang ditaruh Lingga.

"Seperti yang Bapak liat," jawab Lingga seadanya. Mata laki-laki ini buta atau bagaimana sih? Memangnya ia tidak melihat Lingga baru saja menaruh piring kotornya?

Mata Rafandra terbelalak kaget. "Bapak?" pekiknya. "Lingga, kita cuma beda setahun aja. Manggil biasa aja, aku gak keberatan kok," katanya menyarankan.

Gigi Lingga mengertak, kesabarannya mulai menipis. "Saya yang keberatan. Bapak itu atasan saya, udah sepantasnya saya bilang kayak gitu. Nggak apa-apa, kan?" kata Lingga dengan senyum tak sampai mata.

Melihat sorot mata yang tak ada perubahan meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, Rafandra merasa sesuatu yang tidak enak menekan dadanya hingga terasa pengap. Sampai tidak sadar, pertanyaan itu keluar dari mulutnya.

"Apa kamu masih benci sama aku?"

Lingga tidak langsung menjawab, ia mengerjap-ngerjapkan matanya perlahan. Kepalanya sedikit memiring ke samping, menyadari kalau dirinya dan Rafandra sudah menjadi pusat perhatian. Daya tarik yang dimiliki laki-laki itu selalu merugikan orang lain, dan entah mengapa hal itu membuat Lingga dongkol setengah mati. Ingatan-ingatan tentang bagaimana Rafandra membuatnya sebagai korban perundungan merasuki otaknya hingga tanpa sadar gadis itu mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Gadis itu memaksakan seulas senyum lebar. "Kenapa saya harus benci sama Bapak? Apa Bapak pernah berbuat salah sama saya sampe Bapak pantes buat dibenci?" tanyanya sangsi.

"Oh, apa emang pernah?" tanya Lingga pura-pura tidak sadar.

Rafandra tidak menjawab, ia tercengang mendengar pertanyaan yang tidak terduga itu.

Sebenarnya Lingga ingin sekali menghantam Rafandra dengan ribuan hujatan yang sudah ia persiapkan selama bertahun-tahun, namun ia harus menahannya untuk saat ini. Ia tidak bisa meluapkan dendamnya begitu saja tanpa pikir panjang. Lingga tidak akan menyakiti Rafandra dalam satu tarikan napas, ia akan menyakiti laki-laki itu perlahan-lahan dengan penuh perencanaan hingga menciptakan rancangan luka yang sangat sempurna.

Lingga tiba-tiba saja tertawa. "Ya ampun, saya cuma bercanda kok, Pak," ujarnya ceria.

"Tapi menurut saya sebaiknya kita gak boleh keliatan saling kenal deh, Pak. Bukannya gimana-gimana, posisi kita di Divisi Pemasaran cukup beda ya, itu pasti agak bikin gak nyaman, jadi para pegawai yang lain gak perlu tau kalau kita dulu pernah satu sekolah. Bapak juga perlu mikir-mikir buat nyapa saya di tengah banyak orang kayak gini. Saya gak suka jadi pusat perhatian soalnya," kata Lingga tenang namun langsung menyinggung Rafandra. Gadis itu bahkan bisa melihat Rafandra yang mematung di tempatnya berdiri karena tercengang akan sikap terus-terang Lingga yang tidak ada duanya.

"Oh... maaf, aku gak mikir sampe ke sana karena seneng ketemu kamu di sini," lirih Rafandra memaksakan bibirnya menyunggingkan sebuah senyum kecil. "Kalau itu mau kamu, apa boleh buat. Profesional dalam pekerjaan itu emang penting," lanjut laki-laki itu kemudian.

"Terima kasih banyak Pak atas pengertiannya. Kalau begitu saya permisi dulu ya, Pak. Seneng bisa kerja bareng Bapak," kata Lingga sebelum akhirnya meninggalkan Rafandra di tempatnya berdiri.

Senyum yang awalnya tersungging di bibir Lingga perlahan memudar. Dasar menyebalkan, sepertinya laki-laki itu hidup dalam kegembiraan selama ini sehingga ia merasa bisa melakukan apa pun tanpa teringat mengenai masa lalu.

Sial, sikap Rafandra telah menciptakan gelombang panas di dalam diri Lingga. Tenang saja, cepat atau lambat, Lingga akan menunjukkan kepada Rafandra apa itu penyiksaan sebenarnya.  


To Be Continued...

Spring Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang