APA yang dikatakan Arsena memang benar. Ketakutan yang Lingga rasakan jauh lebih penting dari hubungan mereka berdua dulu. Ketakutan itu telah mengubah dirinya sebagai seorang pembenci untuk melindungi dirinya sendiri. Ia enggan merendah serta sombong, egois, dan menjengkelkan. Lingga pikir ia berhak bersikap seperti itu setelah mengalami perundungan selama dua tahun. Tapi saat ini ia sudah tidak tahu lagi.
Lingga menatap pantulan dirinya dari kaca wastafel toilet. Setelah percakapannya dengan Arsena tadi, Lingga merasa seluruh tenaganya terkuras habis. Pria itu berhasil menyentuh titik yang berusaha ia abaikan beberapa tahun terakhir ini. Ia merasa menjadi perempuan paling jahat.
Tiba-tiba saja seorang perempuan berdiri di belakangnya dengan ragu-ragu. Wajah Lingga kontan menegang begitu melihat Dewi dari pantulan kaca.
"Lingga, boleh kita ngomong sebentar?" pintanya dengan nada rendah.
Lingga membasahi bibirnya yang kering. Dengan tenang ia mengambil tissu untuk mengeringkan tangannya yang basah kemudian membuang tissu itu ke dalam tong sampah.
"Apa yang pengen lo omongin?" tanyanya tampak pura-pura sibuk dengan penampilannya dari kaca.
"Gue turut seneng ngeliat lo sama Rafandra sama-sama. Kalian berdua dari dulu emang cocok," katanya dengan senyum tipis di kedua sudut bibirnya.
Lingga memutar bola matanya sinis. Ia mengubah pandangannya ke arah Dewi. "Kenapa? Lo mau bawa pasukan lagi buat nge-bully gue?" tanyanya dengan nada yang tidak bersahabat. "Karena lo pernah ngomong persis kayak gini sebelum temen-temen lo bully gue, gue agak ngeri," tambahnya.
"Lo masih marah sama gue?" tanya Dewi. "Gue bener-bener minta maaf atas apa yang gue lakuin di masa lalu, Li. Tapi waktu itu gue gak tau kalau mereka bakal—"
"Kalau begitu setidaknya lo ada di pihak gue. Bukan cuma ngeliat mereka nyiksa gue setiap hari," selanya cepat. Dewi terdiam, ia tidak bisa berkata-kata.
"Lingga, gue minta maaf," bisik Dewi sungguh-sungguh.
"Permintaan maaf gak bisa ngebayar penderitaan masa SMA gue. Gimana rasanya lo waswas setiap dateng dan pulang sekolah. Gimana rasanya semua temen angkatan musuhin lo karena gak mau terlibat. Gimana rasanya lo gak bisa tidur karena overthinking. Gimana rasanya dikecewain orang yang paling lo percaya," balas Lingga, nada suaranya mulai bergetar.
"Gue gak pernah minta Rafandra buat suka gue, Wi. Gue dukung lo sama dia sepenuh hati. Tapi gimana bisa lo buat neraka buat hidup gue? Kenapa kita harus berakhir kayak gini cuma karena cowok?"
Ucapan Lingga rupanya menyentuh hati Dewi. Air mata mulai menuruni pipi perempuan itu. Ia memejamkan matanya kuat-kuat, dan berusaha mengambil napas dengan susah payah.
"Tapi... ternyata hukum karma itu bener-bener ada. Gue bersyukur temen-temen lo gak ngerasa bersalah sama sekali atas apa yang mereka lakuin ke gue, dan anak-anak yang lain. Gue berharap jalan hidup bakal lebih-lebih buruk dari ini. Supaya rasa sakitnya impas." Setelah mengatakan itu, Lingga mengambil tas miliknya kemudian melenggang pergi meninggalkan Dewi yang berdiri mematung.
Dewi tahu bahwa sampai kapan pun perilakunya tidak akan termaafkan. Karena ia mengerti mengapa Lingga membencinya sampai saat ini. Ia menerimanya, sungguh. Mungkin dengan begitu, ia bisa menyembuhkan setengah luka yang dirasakan Lingga karena dirinya di masa lalu.
Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, dan menangis tanpa suara.
"Gue minta maaf, Li," lirihnya sarat akan keputusasaan.
***
Rafandra menghela napas resah karena Lingga tak kunjung kembali dari toilet. Karena khawatir, pria itu akhirnya menyusul ke toilet. Namun bertepatan dengan itu, ia melihat Lingga keluar dari toilet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Romance (END)
Ficción GeneralLingga Paramitha dikenal sebagai biang gosip paling top di bagian divisi pemasaran. Semua gosip dari golongan A sampai golongan Z, ia tahu sepenuhnya. Meskipun begitu, ia sangat menyukai kehidupannya. Kalau bisa dibilang, ia memang suka mendengar ki...