SELAMA perjalanan menuju Disneyland, Lingga menggigit kuku jarinya sendiri karena resah. Ia tidak berhenti memikirkan ucapan pegawai hotel padanya tadi. Gadis itu berusaha mencoba mengingat apa yang terjadi padanya semalam, tapi nihil, ia tidak bisa mengingat apa pun.
Diam-diam ia mencuri pandang pada Rafandra yang duduk di kursi paling depan di barisan kiri. Pria itu nampak sedang mengobrol dengan Fifi yang duduk di sebelahnya.
Apa sebaiknya ia tanyakan langsung saja pada Rafandra mengenai semalam?
Lingga segera menggelengkan kepalanya. Tidak... tidak... itu sangat memalukan. Apa lebih baik ia pura-pura tidak ingat saja sampai akhir? Tapi kalau begitu, artinya ia tidak tahu apa yang terjadi padanya semalam. Apalagi pegawai itu mengatakan bahwa Rafandra membopongnya, bukankah artinya pria itu menyentuh tubuhnya? Jangan-jangan pria itu sengaja mencuri kesempatan dalam kesempitan pada dirinya.
"Li! Li!"
Bahu Lingga tersentak saat Dessy menepuk bahunya cukup keras.
"Lo gak mau turun?" tanyanya.
"Oh? O-oh iya... ayo turun..." ucap Lingga linglung. Sial, ia sama sekali tidak fokus.
"Lo kenapa sih daritadi? Masih mabok?" Dessy bertanya dengan nada heran. Lingga bangkit berdiri lalu menggelengkan kepalanya. Ia tidak mungkin menceritakan apa yang ia dengar dari pegawai hotel kepada Dessy, bisa-bisa Lingga diledek sampai Indonesia.
Berbeda dengan teman-temannya yang tampak bahagia memasuki Disneyland, Lingga justru sama sekali tidak bisa fokus. Entah sudah berapa kali ia melirik ke arah Rafandra, masih berusaha mengingat-ngingat kejadian penting semalam. Aneh sekali, padahal Lingga bukan termasuk seseorang yang memiliki daya ingat yang buruk.
"Makin dipikirin, gue makin penasaran," desis Lingga kepada diri sendiri. Omong-omong tadi saat sarapan, Rafandra memilih duduk di mejanya. Apa ada yang ingin dikatakan pria itu padanya tadi pagi?
Seharian itu Lingga tidak benar-benar bisa menikmati permainan di Disneyland, ya setidaknya ia masih ingat memakai bando micky mouse dan mengambil banyak foto. Tapi tetap saja... ia masih penasaran apa yang terjadi antara dirinya dan Rafandra semalam.
Dan juga... pria itu agak aneh. Wajahnya cemberut sepanjang hari. Kalaupun tersenyum, senyum yang diberikannya terlihat tidak tulus. Bahkan saat beberapa karyawan perempuan meminta foto kepadanya pun, Rafandra dengan terang-terangan menolak meskipun nada suaranya diusahakan terdengar sopan. Pokoknya hari ini pria itu terlihat aneh. Keanehan pria itu juga yang makin Lingga penasaran.
"Sumpah gue beneran gak mau masuk ke tempat itu," keluh Lingga pada teman-temannya yang sudah bersemangat ingin memasuki Haunted Mansion.
"Apa yang harus ditakutin sih?" cetus Dessy pada Lingga.
"Jadi kalian mau masuk apa kagak nih? Yang lain udah pada masuk, tau." Lingga dan Dessy menoleh ke belakang. Suara itu berasal dari Shinta, gadis yang sekarang tengah berdiri di samping Rafandra. Lingga baru sadar kalau ternyata pria itu ada di belakangnya daritadi.
"Iya, Mbak," gumam Dessy kepada Dessy. Ia pun merangkul lengan Lingga dan memaksanya ikut mengantri seperti teman-temannya yang berada di depan.
"Gue gak mau, Des," kata Lingga.
"Udah, sebentar doang kok," balasnya. "Si Shinta itu sensian napa, kalau lo balik lagi ke belakang, pasti banyak bacot dia," bisik Dessy agar tidak didengar dua orang di belakang.
Lingga mendesah kesal tapi ia tidak bisa berkata apa-apa karena memang tidak ada pilihan lain. Setelah cukup laam mengantri, satu per satu teman mereka mulai menaiki kereta yang per kursinya diperuntukkan untuk dua orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Romance (END)
Ficción GeneralLingga Paramitha dikenal sebagai biang gosip paling top di bagian divisi pemasaran. Semua gosip dari golongan A sampai golongan Z, ia tahu sepenuhnya. Meskipun begitu, ia sangat menyukai kehidupannya. Kalau bisa dibilang, ia memang suka mendengar ki...