Bab 42 - Fact

27.3K 2.9K 125
                                    

MEREKA ada di bawah. Maka yang bisa Lingga lakukan adalah berdiam diri di lantai dua sampai menunggu mereka keluar dari gerbang sekolah. Hal itu biasa ia lakukan demi tidak mendengar kata-kata yang dapat membuatnya menangis sesampainya di rumah. Menjadi pengecut lebih baik daripada terlihat kuat tapi sekadar omong kosong.

"Kamu belum pulang?"

Lingga menoleh ke asal suara. Ia terkesiap saat melihat seorang perempuan berambut hitam lurus, berkulit putih susu, dan memiliki wajah yang sangat rupawan. Bukankah dia anak kelas tiga? Kepalanya memutar ke sekeliling, sudah tidak ada orang.

"Belum, Kak," jawab Lingga dengan kepala sedikit menduduk. Ia sudah bermasalah dengan grup Nemi, Lingga tidak ingin menambah kebencian dari kakak kelasnya yang lain.

"Kenapa?" tanyanya ingin tahu.

"Nggak kenapa-napa, Kak," kata Lingga lagi, masih tidak berani menatap wajah gadis yang berdiri di hadapannya.

Perempuan itu tersenyum ramah. Ia kemudian mengulurkan tangannya di hadapan Lingga.

"Aku Eliza," katanya.

Lingga menatap uluran tangan itu dengan tatapan tidak mengerti. Ragu-ragu ia mulai membalas jabatan tangan perempuan yang menyebut namanya Eliza.

"Nama aku Lingga, Kak," balasnya pelan.

"Lega banget karena bukan cuma aku yang pengecut di sini," katanya mendesah pelan.

"Maksud Kakak?"

Eliza menunjuk Nemi dan teman-temannya dengan dagu. "Aku belum pulang karena takut ketemu mereka," katanya.

Lingga mengerjapkan matanya berulang kali. "Kakak juga digangguin sama mereka?" tanyanya hati-hati.

"Bukan sekadar digangguin, tapi kayaknya bener-bener disiksa sama mereka," jawabnya. Bagaimana bisa gadis secantik ini juga menjadi korban perundungan Nemi dan teman-temannya?

"Serius?" Lingga bergumam ngeri. Jantungnya mulai berdebar keras, dan lututnya mendadak lemas.

"Gak perlu takut kayak gitu. Kamu mungkin gak bakal diperlakukan separah aku, karena kamu gak berani ngelawan mereka," kata Eliza menenangkan.

"Kakak ngelawan mereka?"

Eliza menganggukan kepala. "Menurut aku mereka kayak bocah, dan ejekan mereka sama sekali gak lucu. Aku juga sering ngeliat mereka ngelakuin itu ke banyak perempuan, terutama adek kelas yang gak punya power di sekolah ini. Makanya aku ngelaporin mereka ke guru," katanya dalam senyum.

Lingga menutup mulutnya dengan sebelah tangan, takjub mendengar keberanian perempuan ini.

"Tapi kamu tau gak apa yang dilakuin pihak sekolah pas denger itu?"

Lingga menggeleng.

"Guru cuma nyuruh kita semua ke kantor, saling memaafkan, dan ngelupain masalah ini. Dia nyuruh mereka jangan suka ngelabrak orang, dan dia nyuruh aku maafin mereka. Cuma itu." Eliza tertawa. "Percuma ngomong sama guru, mereka nganggap hal itu wajar terjadi di sekolah," tambahnya tersenyum kecut.

"Itu juga yang aku pikirin sebelumnya, makanya sampe sekarang aku gak pernah berani bilang sama orangtua atau pun guru," kata Lingga membenarkan.

"Tahan aja sampe mereka lulus. Itu pun kalau kamu kuat," ujar Eliza sendu.

"Kakak juga kan kuat."

Eliza menggelengkan kepala. "Aku bakal pindah sekolah sebentar lagi. Hari demi hari kayaknya makin berat. Aku gak mampu kalau harus ngelewatin hari buruk itu setiap hari."

Spring Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang