Bab 41 - Still a Loser

25.3K 2.7K 104
                                    

"LINGGA itu nama cowok bukan sih?"

"Iya, setau gue Lingga itu nama cowok. Ortu lo gak mau punya anak cewek kali, makanya dinamain Lingga."

"Ooh jadi kayak anak yang gak diharapkan gitu ya?"

"Jangan-jangan lo anak hasil MBA."

Lingga mengenal banyak orang dengan nama-nama yang sebenarnya tidak cocok untuk gender mereka. Tapi sejak kapan nama sangat berpengaruh dengan gender? Lalu bagaimana kalau nama Reza untuk perempuan, nama Anggi untuk laki-laki. Apa itu kesalahan? Apakah ada peraturan khusus mengenai nama itu tidak boleh diberikan oleh gender yang berbeda?

Dari dulu Lingga tidak pernah menganggap nama yang dimilikinya sebagai masalah, sampai ketika mereka mengatakan itu di depan matanya. Dengan posisi Lingga yang duduk di tengah, dan mereka mengitari tubuhnya, gadis itu merasa seperti orang yang tidak ada harga dirinya.

Mereka tertawa dengan riang gembira. Mereka tetap tenang saat guru berjalan melewatinya. Bahkan Lingga melihat guru tersenyum kepada mereka, seolah-olah kagum bahwa senior dan junior bisa memiliki hubungan yang baik. Perundungan yang dialaminya memang tidak seberat seperti yang sering diperlihatkan dalam film, tapi ternyata cukup mampu membuat dirinya ingin mengakhiri hidupnya.. Hari demi hari layaknya neraka yang tidak ada habisnya.

Lingga mulai membenci namanya sendiri. Lingga mulai membenci dirinya sendiri. Lingga mulai merasa rendah diri, dan merasa dirinya tidak layak untuk siapa pun. Kata-kata yang mereka lontarkan terus-menerus memutari isi kepalanya hingga membuat Lingga kehilangan jati dirinya. Ia risih tiap kali orang melihat dirinya, ia tidak ingin menonjol di antara kerumunan orang karena membayangkan apa yang mereka pikirkan tentang dirinya. Rasanya sesak setiap kali hari esok datang. Ia berharap waktu berhenti berputar dan dunia sekali saja membiarkan dirinya bernapas.

"Rafandra! Apa kabar lo?" Seorang pria dengan kemeja putih berjalan mendekati Rafandra.

Rafandra tersenyum lebar. "Kabar gue baik, Gi. Lo sendiri gimana?" tanyanya.

"Baik juga," gumamnya. Arah pandangnya teralih pada Lingga, matanya sedikit menyipit seolah-olah mencoba mengingat kira-kira di mana mereka pernah bertemu.

"Lingga ya?" katanya menebak.

Lingga menelan ludahnya dan memaksakan menyunggingkan seulas senyum ramah. "Iya, Kak. Kak Anggi apa kabar?" tanyanya basa-basi.

Anggi Subagyo menutup mulutnya dengan sebelah tangan karena terkejut. "Wah, gila! Kalian berdua pacaran?" tanyanya blak-blakkan. Lingga sedikit merasa tidak nyaman, karena semua pasang mata di ruangan ini mulai melihat ke arah mereka.

Rafandra menggenggam tangan Lingga dengan erat. Mencoba meyakinkan gadis itu bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Iya, Gi. Gakpapa kan kalau bawa pasangan?" tanyanya.

Anggi menggelengkan kepalanya kuat-kuat, raut wajahnya masih syok. "What? Gue gak nyangka banget lho kalian pacaran. Udah lama?" tanyanya masih penasaran.

"Belum lama sih. Kita ketemu lagi karena Lingga dan gue ternyata kerja di satu kantor," jelasnya singkat.

"Oh jadi pas SMA, kalian itu gak ada hubungan apa-apa?"

"Kalau SMA masih pendekatan," kata Rafandra santai. "Tau tuh Lingga, gak pernah mau bales perasaan gue," ujarnya pura-pura merajuk.

Anggi menepuk bahu Rafandra semangat. "Yang penting sekarang ada di pelukan, Fan," serunya sumringah. "Ayo, ayo, kita ke anak-anak yang lain. Udah pada nungguin lo tuh," katanya mengajak Rafandra mendekati teman-temannya yang sudah berkumpul di meja panjang tengah-tengah aula.

Spring Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang