Bab 38 - Haru (One Day)

28.1K 2.8K 66
                                    

LINGGA merentangkan tangan kirinya di udara, sedangkan tangan kanannya mencengkeram setang sepeda. Ini sungguh pengalaman yang menyenangkan. Ia bisa menikmati keindahan Kebun Raya dengan menggowes sepeda sewaan yang khusus diperuntukkan bagi pengunjung tempat wisata tersebut. Ia hanya perlu memberikan KTP sebagai jaminan, dan membayar biaya sewa seharga tiga puluh lima ribu untuk satu jam.

"Li! Ayo dong lebih cepet!" seruan kencang itu tak lain berasal dari Rafandra yang menggowes sepedanya dengan semangat. Jarak sepeda Rafandra memang lebih jauh daripada Lingga.

Lingga mendengus kesal. Ia pun menggowes lebih kencang agar bisa menyusul Rafandra.

"Tungguin aku, Fan!" teriak Lingga seraya menggowes sekuat tenaga.

"Kalau kamu gak nungguin, aku bakal marah!" ancam Lingga. Mendengar ancaman itu kontan Rafandra tersentak. Begitu Rafandra sengaja memelankan sepedanya, Lingga malah melewati Rafandra dan menjulurkan lidahnya mengejek. Rafandra yang melihat itu tertawa kecil namun mencoba menyusul gadis itu kembali.

"Dasar curang!" teriak Rafandra pada Lingga.

Waktu sudah pukul empat sore ketika Rafandra dan Lingga selesai bersepeda mengelilingi Kebun Raya. Cuaca yang tadinya sangat cerah pun mulai meredup, udara juga semakin sejuk.

"Kok kayak mau ujan ya?" gumam Lingga sambil melihat ke atas langit.

"Iya, padahal tadi kayaknya cerah banget," ujar Rafandra yang juga merasa bingung dengan cuaca di Bogor.

Mereka berdua berjalan berdampingan melewati danau yang terdapat banyak bunga teratai yang mengapung di atas. Sesekali Lingga menengadah ke atas, melihat bagaimana angin mengoyak habis dedaunan hingga berserakan di tanah.

"Li?" panggil Rafandra.

"Hm?"

Rafandra merasa bahwa ini saat yang tepat untuk mengatakan kepada Lingga mengenai rencana yang telah ia buat semalam. "Ngebahas apa yang kita omongin kemarin tentang Dewi dan temen-temennya yang nge-bully kamu dulu, kayaknya udah waktunya kamu ketemu mereka lagi," katanya memulai. Dahi Lingga mengerut, tidak memahami apa maksud dari perkataan Rafandra.

"Maksud kamu apa?" tanyanya.

"Kamu mau gak nemenin aku dateng ke reunian?" tanya Rafandra langsung ke poin intinya. Langkah Lingga berhenti, ia menatap Rafandra dengan tatapan tidak mengerti.

"Di sana kamu mungkin bakal ketemu sama mereka. Tapi menurut aku, ini waktu yang tepat. Aku rasa kamu perlu menghadapi mereka secara langsung supaya kamu gak dibayang-bayangi terus sama masa lalu," kata Rafandra memberikan saran.

Lingga terdiam sesaat. "Buat apa? Buat nunjukin kalau kita udah sama-sama? Itu gak bakal ngubah fakta kalau mereka pernah nge-bully aku," ujarnya.

"Bukan, aku pengen kamu ngebuktiin kalau selama ini kamu ngejalanin kehidupan yang jauh lebih baik dari mereka," sahut Rafandra. "Aku pengen mereka ngerasa rendah diri di samping kamu," lanjutnya.

"Kamu tau dari mana kalau hidup aku jauh lebih baik dari mereka?" tanya Lingga ingin tahu.

Rafandra mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Justru itu. Kamu juga perlu tau gimana mereka ngejalanin hidupnya selama ini. Maka dengan begitu, kamu bisa ngelukain mereka tanpa ngotorin tangan kamu sendiri," katanya yang mulai bisa Lingga pahami.

Bertemu dengan orang-orang yang merundungnya? Jantungnya saja sudah berdebar kencang meskipun hanya melihat foto salah satu pelaku dengan tidak sengaja di media sosial. Bagaimana bisa dirinya bertemu dan bertatap muka langsung? Meskipun selama ini ia menganggap dirinya baik-baik saja, tapi trauma itu ada. Rasa takutnya belum menghilang seiring waktu berjalan. Apakah ia bahkan bisa menghadapi mereka?

Spring Romance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang