Selamat Membaca
Bakar dulu supaya panasss 🔥🔥🔥🔥
“Setahun menjalin hubungan, bahkan meski lo punya maksud tersendiri, lo tetap bertahan di samping Cia. Setahun mungkin waktu yang singkat, tapi apa lo benar-benar nggak merasakan apapun saat itu, sampai lo bisa bicara kayak gini ke Cia?”
An dan Sastra masih saling menatap satu sama lain, sebelum Cia berjalan mendekat ke arah Sastra, menarik lengan lelaki itu yang membuat adu tatapnya dengan An terputus. Sastra menatap Cia yang menggeleng pelan dengan mata berkaca-kaca.
Sastra mengembuskan napas kasar, sebelum berganti menarik Cia untuk mendekat ke motornya. “Kita pulang,” ujarnya sembari menyerahkan helm milik Cia, sebelum memakai helmnya.
Bahkan sampai keduanya menghilang dengan motor yang dikendarai Sastra, An masih berdiri termenung di tempatnya. Lelaki itu menghela napas kasar, sebelum berjalan masuk ke dalam rumahnya. Di ruang tamu, langkah An terhenti begitu ia melihat Lasmi yang tengah duduk di kursi roda, menunggunya. An hendak berjalan mengabaikannya, namun lelaki itu kembali berhenti melangkah begitu sang adik memanggilnya.
“Mas.” Lasmi memutar kursi rodanya untuk bisa menatap langsung kepada An. “Kak Nana cerita semuanya ke aku,” ujarnya yang membuat An menatapnya cepat. “Jangan marah, aku yang memaksa Kak Nana.”
Dengan sedikit kesusahan, Lasmi bergerak mendekat dengan kursi rodanya ke arah An yang masih berdiri diam di tempatnya. Perlahan tangan gadis itu meraih tangan sang kakak, menggenggamnya erat.
“Aku ikhlas, Mas. Dengan keadaanku sekarang, dengan kepergian Papa, Mama, Mas Laskar, dengan keluarga kita yang mendadak hanya tersisa aku dan Mas An. Aku ikhlas, Mas,” ujarnya dengan suara bergetar yang membuat An menunduk menatapnya. Gadis itu mencoba memberikan senyuman meski ia tahu An melihat jelas kedua matanya yang tengah menahan tangis saat ini.
“Jangan salahkan diri Mas sendiri karena nggak ikut kami di mobil malam itu. Jangan merasa terbebani dengan keadaanku sekarang. Jangan terus sedih karena Mas An masih punya aku.” Meski berusaha kuat menahan diri, gadis itu tetap menangis di hadapan sang kakak.
“Mas boleh jatuh cinta lagi, bahkan dengan anak dari seseorang yang membuat Papa, Mama, dan Mas Laskar meninggal. Jangan terus membohongi diri sendiri. Mas An berhak bahagia.” Lasmi semakin mempererat genggaman tangannya di tangan An. “Demi aku, demi ketenangan Papa, Mama, dan Mas Laskar, kita ikhlaskan sama-sama kejadian malam itu ya, Mas,” katanya memohon yang membuat pertahanan An hancur seketika. Lelaki itu jongkok, jatuh menangis di pangkuan Lasmi yang juga ikut menangis bersamanya.
Selama empat tahun ini lelaki itu menahannya sendiri. Setiap hari menatap Lasmi yang terpaksa harus merelakan impiannya sebagai seorang model, membuat An tidak berhenti merasa bersalah. Malam itu, seandainya ia tidak meminta keluarganya untuk hadir ketika ia hendak melamar Lovita, kecelakaan itu mungkin bisa dihindari. Semuanya mungkin masih baik-baik saja.
***
Pagi itu, setelah kecelakaan semalam terjadi, An melakukan pemakaman kedua orangtua dan kakaknya. Dengan Lasmi yang terus menangis di kursi roda, dengan kenyataan yang harus ia terima jika adiknya mengalami kelumpuhan seumur hidup, membuat An harus menjadi tembok kokoh untuk Lasmi, meski sebenarnya hatinya hancur.
An baru saja tiba di rumahnya, setelah membawa Lasmi beristirahat di kamarnya, lelaki itu berjalan ke arah dapur, ia hendak mengambil minuman di kulkas, sebelum keberadaan Biru, Citra, Angkasa, dan Jeff, di sana menghentikannya. Apalagi setelah mendengar percakapan di antara teman-temannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melcia Jahanara
RomanceLakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Ya, karena gue nggak pernah memberikan nilai sepuluh ke siapapun. Lakshan Janardana.