Selamat Membaca
Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, semua telah diatur semesta dengan begitu baik, An mempercayai itu. Karenanya, pertemuan Cia dengan Samudra – teman lamanya yang merupakan dokter Cia saat di Mongolia – pasti juga memiliki alasan.
“Gimana bisa lo ketemu Cia di Mongolia?” tanya An ketika malam ini, ia dan Samudra masih berada di rumah sakit. Keduanya memilih menghabiskan waktu sejenak di tempat merokok yang cukup jauh dari bangunan – bangunan lain.
“Teman gue nikah sama orang Mongolia, dan ternyata Cia kenal mereka. Keadaannya dia saat pertama kali datang ke Mongolia buruk, sangat buruk,” jawabnya yang membuat An menatapnya dengan kening mengerut.
Samudra tersenyum sebelum menjawab, “Maksud gue mentalnya. Ada sesuatu yang salah sama dia. Jadi, teman kita ini membawa Cia ke rumah sakit tempat gue kerja. Di situ kita mulai kenal.”
“Sangat buruk? Seperti apa?” tanya An setelah beberapa saat ia termenung mendengar jawaban Samudra.
“Dia nolak untuk berobat, untuk ketemu psikiater kayak gue. Tapi, setelah beberapa waktu, dia akhirnya datang sendiri ke gue, dan ya ... dia cerita semuanya. Percobaan bunuh dirinya yang beberapa kali gagal, terus merasa sendirian dan kesepian. Cia ... kelihatan benci sama hidupnya sendiri saat itu.”
“Orangtuanya meninggal, dan Cia punya konflik sama mantan pacarnya, dan ditambah lagi ada sedikit masalah dengan keluarga besarnya. Cia anak tunggal yang dia nggak punya tempat untuk cerita.”
“Sampai sekarang dia rutin minum obat?” tanya An lagi setelah lebih banyak diam.
Samudra mengangguk. “Tiga tahun di Mongolia, selama itu juga dia nggak pernah absen untuk ketemu gue, dan selalu gue resepkan obat-obatan baru buat dia.”
“Jadi, sekarang dia udah membaik?”
“Seperti yang lo lihat sekarang, seenggaknya dia punya alasan untuk tetap hidup.” Samudra membuang puntung rokoknya ke tempat yang disediakan di sana, sebelum bangkit berdiri. “Dia perempuan baik. Dan, jujur gue penasaran lelaki brengsek mana yang ikut andil dalam memperburuk keadaannya Cia kayak gitu,” ucapnya sebelum berlalu pergi begitu saja.
An masih diam di tempat duduknya, menatap rokok di tangannya sebelum membuangnya dan menginjaknya hingga mati. Lelaki itu mengembuskan napas kasar. Iya, lelaki brengsek itu adalah dirinya. Cia sudah begitu rapuh, dan An malah semakin menghancurkannya.
Lalu, masihkah pantas jika ia berharap bisa memperbaiki dan memulai segalanya kembali dengan gadis itu? Apakah setelah semua kesulitan yang Cia alami, gadis itu masih mau kembali dengan orang yang merupakan penyumbang luka terbesar untuk hidupnya?
***
Hari ini adalah hari kepulangan Sastra setelah hampir satu minggu dirawat di rumah sakit. Mamanya mengundang semua teman dekat lelaki itu untuk datang ke rumah karena ia akan mengadakan acara makan-makan sederhana untuk mendoakan kesembuhan Sastra. Dan, tentu Cia juga turut hadir di sana.
Dan, lagi-lagi Sastra masih merasa ada yang berbeda dengan Cia. Gadis itu meski dilakukan dengan halus, ia tahu jika Cia mencoba sedikit membuat jarak dengan dirinya. Entah dengan alasan apa Cia melakukannya.
“Mbak.” Lelaki itu menghampiri Cia yang tengah duduk di sofa ruang tengah sendirian sembari menikmati puding yang dibuat oleh Mamanya.
“Hmm?” Cia memberikan senyuman tipis kepada Sastra. “Mau puding? Masakannya Tante Hana enak-enak semua,” ujarnya.
“Nanti bawa pulang, gue bungkusin,” katanya yang membuat Cia terkekeh singkat sebelum mengalihkan pandangan ke arah teman-teman mereka yang sedang bermain game, lesehan di bawah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melcia Jahanara
RomantizmLakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Ya, karena gue nggak pernah memberikan nilai sepuluh ke siapapun. Lakshan Janardana.