Selamat Membaca
Tarik napas dulu bentar, bab ini alasan kenapa An bertingkah kayak gitu mulai terungkap. Jadi, setelah baca sampai akhir nanti, aku mau tahu gimana pendapat teman-teman mengenai permasalahn An dan Cia ini.
Jangan lupa vote dan komen yaaaa
Cia mengendarai mobilnya memasuki perumahan yang asing untuknya. Setelah melapor kepada satpam, dan dipersilakan masuk, Cia membawa mobilnya dengan kecepatan pelan sembari melihat nomor-nomor rumah yang ada di sana.
Setelah semalam menangis karena buruknya bagaimana hubungannya dengan An sekarang, Cia mendapat pesan lewat instagram dari Lasmi. Gadis itu meminta maaf karena sikap kasar An. Dan, jika tidak keberatan, ia meminta untuk bertemu Cia guna meminta kembali buku-bukunya yang dibawa An kemarin malam.
Awalnya Lasmi meminta Cia untuk bertemu di salah satu restoran di mall, namun karena badannya terasa tidak enak, Lasmi meminta Cia untuk mengantar buku itu ke rumahnya jika ia tidak keberatan, dan Cia menyetujuinya.
"Nomor 214, nah benar itu," gumam Cia sembari memarkirkan mobilnya di depan rumah dengan gerbang tinggi dengan nomor yang Lasmi sebutkan di pesan tadi pagi. Sembari membawa paper bag berisi buku, Cia turun dari mobilnya.
Ini kali pertama ia mengunjungi rumah An, dan kunjungan ini pun bukan atas dasar undangan lelaki itu, tapi karena Lasmi memintanya. Cia cukup berdebar, membayangkan akan bertemu dengan orangtua dari An, membuatnya cukup gelisah sejak tadi.
Cia menekan bel beberapa kali sebelum seorang asisten rumah tangga membuka gerbang dan tersenyum menyapa Cia. "Mbak Cia, ya?"
"Iya." Cia membalas senyumnya.
"Mbak Lasmi sudah menunggu di dalam, silakan, Mbak. Kunci mobilnya kalau boleh saya minta, nanti biar Pak sopir yang masukin ke dalam," katanya yang membuat Cia menyerahkan kunci mobilnya sebelum berjalan masuk ke rumah besar itu.
Di ruang tamu, Lasmi duduk di kursi roda menyambutnya dengan senyuman lebar yang membuat Cia balas tersenyum ke arahnya. Gadis itu berjalan mendekat dan jongkok di depan Lasmi.
"Kamu beneran nggak apa-apa? Kalau aku ganggu waktu istirahat kamu, setelah ini aku langsung balik aja," ujar Cia yang mendapat gelengan tegas oleh Lasmi.
"Aku nggak apa-apa, Kak. Badanku emang sering nggak kerasa nggak enak, tapi nanti kalau udah minum obat, nggak apa-apa, kok." Lasmi tampak senang saat ini. "Makasih ya, Kak Cia mau datang ke rumahku. Maaf kalau aku ngerepotin Kakak."
"Enggak, kok. Aku nggak merasa direpotkan, senang bisa main ke rumah kamu. Oh, ya, ini." Cia menyerahkan paper bag yang ia bawa kepada Lasmi yang diterima gadis itu dengan senang.
Pandangan Cia mengedar begitu Lasmi fokus dengan buku-buku yang sudah ditanda tangani olehnya itu. Rumah mewah dan besar ini tampak sepi. Ia tidak melihat tanda-tanda keberadaan orang lain di rumah ini selain Lasmi dan satu asisten rumah tangga itu.
"Mbak Lasmi, waktunya minum obat."
Cia dan Lasmi sama-sama menoleh ke asisten rumah tangga itu begitu ia berucap. Lasmi menatap Cia dengan pandangan tidak enak. "Maaf ya, Kak. Aku harus minum obat dulu," katanya yang membuat Cia mengangguk beberapa kali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Melcia Jahanara
RomansaLakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Ya, karena gue nggak pernah memberikan nilai sepuluh ke siapapun. Lakshan Janardana.