Selamat Membaca
Setelah mendengar pengakuan Cia di rumah Dela dan Biru ketika tasyakuran kelahiran anak mereka, Sastra mungkin saja patah hati. Lelaki itu mungkin saja merasa kecewa dengan pengakuan Cia. Namun, gadis itu belajar mengungkapkan apa yang tengah ia rasakan dengan jujur. Ia belajar untuk menghargai dirinya sendiri, salah satunya adalah dengan berkata jujur atas semua hal yang ia rasakan.
Cia memang masih ingin kembali dengan An. Hubungan mereka dimulai dengan baik. Sejauh ini, jika saja kecelakaan orangtuanya tidak berhubungan dengan kematian keluarga lelaki itu, Cia meyakini jika An pasti akan menjadi sosok kekasih yang baik.
Sastra baik, meski dia jauh lebih muda dari Cia, tapi lelaki itu mampu bersikap dewasa. Ia mampu mengimbangi sifat Cia yang kadang masih labil ini. Sastra memposisikan dirinya dengan baik. Namun, Cia masih ingin mengenal An lebih jauh, mengetahui lagi jika mungkin saja hubungan mereka bisa diperbaiki.
“Lama nunggu, ya?”
Gelengan pelan An berikan ketika Cia masuk ke dalam mobilnya. Siang ini, An menyempatkan waktu istirahatnya untuk menjemput Cia yang baru saja mengunjungi kantor penerbit untuk buku barunya yang sebentar lagi akan terbit.
“Beneran nggak apa-apa makan didekat rumah sakit? Aku bisa bawa kamu makan ke tempat yang makanannya jauh lebih enak, loh,” ujarnya sembari mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat parkir kantor penerbit itu.
“Makanan di sana juga enak, kok.” Rumah makan sederhana yang letaknya tepat di samping rumah sakit tempat An bekerja. “Dulu kita juga sering makan di sana,” katanya yang membuat An menoleh dan tersenyum.
“Dulu kamu nggak pernah mengeluh saat aku sarankan tempat itu, dan sekarang pun masih sama,” sambung An yang dijawab Cia hanya dengan senyuman tipis.
Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, kini An dan Cia telah sampai di rumah makan itu. Mereka bertemu dengan sepasang suami istri yang sudah berumur, yang memiliki tempat itu. Keduanya tampak menatap An dan Cia dengan senang.
“Ibu sama Bapak senang lihat Mas An dan Mbak Cia lagi. Kalian udah lama nggak ke sini.”
Cia terkekeh pelan. “Iya, nih. Padahal masakannya Ibu sama Bapak masih nggak ada lawan. Terenak se-Jakarta.”
Tampak lelaki tua berjalan mendekat sembari membawa nasi yang baru saja matang. Memukul pelan lengan An yang berdiri di samping Cia, sembari tertawa pelan, lelaki tua itu berucap, “Jadi, udah punya anak berapa sekarang?” tanyanya yang untuk sesaat membuat An dan Cia saling berpandangan, sebelum Cia hendak membantah pertanyaan itu, namun An mendahuluinya.
“Kami be—”
“Doain aja, Pak,” sela An sembari melingkarkan tangannya di bahu Cia, dan memberi usapan lembut di sana, yang membuat gadis itu menoleh ke arahnya, “Kami sedang mengusahakan yang terbaik,” katanya.
Bapak dan Ibu saling berpandangan sebelum sama-sama mengangguk dan mengulum senyum tipis. “Pasti kami doakan. Doa terbaik untuk kalian berdua. Supaya nanti, entah kapan, kalau kami masih diberi umur, kalian bisa makan di sini, bukannya berdua lagi, bisa saja bertiga atau berempat dengan anak kalian.”
An menatap Cia yang duduk di depannya. Mereka duduk di meja paling pojok, makanan pesanan mereka sudah tersedia. Ayam bakar madu, tumis kangkung, dan nasi putih. Pesanan yang tidak pernah berubah sejak keduanya makan di sini beberapa tahun yang lalu.
“Kenapa?” tanya lelaki itu akhirnya karena melihat Cia yang sejak tadi lebih banyak diam.
Gadis itu tersenyum tipis, meletakkan paha ayam di piring An, sebelum mengambil sayap untuknya, Cia menatap An yang masih menatapnya, menunggu jawabannya. “Doanya Ibu tadi ... kedengarannya tulus banget,” katanya jujur sembari terkekeh singkat. Hatinya sempat bergetar ketika Ibu berucap tadi. Bayangan indah yang dulu sempat ia miliki dengan An, kini mendadak kembali muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melcia Jahanara
RomantizmLakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Ya, karena gue nggak pernah memberikan nilai sepuluh ke siapapun. Lakshan Janardana.