Selamat Membaca
Iya, ini pendek. Coba kasih api duluuhh 🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥
An seolah tidak bisa menggerakkan bagian tubuhnya. Melihat tubuh Cia yang terbaring di ranjang UGD dengan tidak sadarkan diri, dengan darah yang kini seolah menjadi corak di gaun yang ia kenakan. Untuk sesaat, An seolah kehilangan dunianya. Gadis yang masih sangat ia cintai, terbaring begitu saja dengan keadaan yang ... buruk.
“Cia...”
An menoleh ke ranjang sebelah, di mana Sastra juga tengah berbaring di sana dengan beberapa perawat dan dokter yang mengelilinginya. Lelaki itu membuka matanya perlahan, ia menoleh ke samping, kedua matanya basah dan memerah, Sastra menangis begitu melihat kondisi Cia saat ini.
“Cia...”
Sastra bangkit duduk, ia hendak turun dari ranjang, namun perawat mencoba menghentikannya. Pandangan Sastra serta telinganya tidak lagi mendengar apapun, selain menatap Cia yang tidak sadarkan diri di sebelahnya.
Bahkan meski keadaannya juga berantakan, Sastra masih tetap menepis kasar tangan yang hendak mencegahnya. Kakinya yang satu sepatunya menghilang menapak ke lantai UGD yang selalu terasa dingin di malam hari. Dengan kaki yang pincang, ia mendekat ke arah ranjang.
“Cia ... sayang, hei, bangun,” ujarnya dengan suara bergetar, tangannya mencoba mengusap lembut pipi gadis itu, berusaha membangunkannya. Namun, Cia tidak bergeming, gadis itu tetap diam.
“Sayang ...” Sastra terisak pelan, ia menggenggam tangan Cia yang terasa dingin dengan beberapa bercak darah dan memar yang terlihat. “Maaf, maafin aku, Cia. Maafin aku.”
Biru mendekat, meraih tubuh Sastra dibantu dengan perawat lelaki, menjauhkannya dari tubuh Cia meski perlu tenaga yang kuat, karena Sastra masih ingin berada di samping Cia. Keduanya membawa Sastra menjauh, sedangkan Langit dan beberapa perawat mulai memeriksa Cia.
Langit menoleh ke arah An yang masih berdiri diam di tempatnya sejak tadi. “Gue butuh lo, An. Cia harus segera dioperasi,” ujarnya setelah memeriksa kondisi Cia selama beberapa menit.
An tidak mengatakan apapun, lelaki itu menoleh ke arah Langit dengan tatapan bingung, sebelum menggeleng pelan.
“An!” seru Langit frustasi dan setengah marah. “Cia butuh lo. Dia harus segera dioperasi.” Langit berjalan ke arah An, menatap temannya itu dengan pandangan serius. “Setelah CT Scan dilakukan, kita berdua harus siap di ruangan operasi. Gue curiga ada pendarahan internal.”
Ketika Langit hendak berjalan ke arah meja perawat untuk kembali memastikan, ia menoleh ke arah An yang hanya diam. Langit mengembuskan napas kasar, ia meraih kerah pakaian dokter yang An kenakan, dan memberikan lelaki itu satu pukulan untuk menyadarkannya, yang membuat semua orang yang melihat terkejut.
“Sadar, An! Ini bukan waktunya untuk diam aja kayak lo sekarang!”
“Lang,” ujar An pelan sembari memandangi ranjang Cia yang perlahan dibawa menjauh. Ia menatap Langit dengan kedua mata memerah, menahan tangis, “Gue nggak akan sanggup membelah tubuh dari gadis yang gue cintai, gue nggak bisa, Lang.”
***
Setelah diobati, Sastra memaksa untuk duduk diam menunggu di depan ruang operasi. Lelaki itu harusnya masih istirahat dan harus rawat inap, namun alih-alih menuruti perkataan Biru, Sastra malah duduk diam di depan ruang operasi dengan wajah yang cemas.
Lelaki itu tidak sendiri, ada Nana dan Citra yang perutnya membesar ikut menunggu. Tidak ada yang bersuara, mereka sama-sama menunggu dengan rasa cemas dan takut. Sampai setelah beberapa jam menunggu, An dan Langit keluar dari ruang operasi yang membuat ketiganya berdiri.
“Gimana keadaan Cia? Dia—“
Bugh.
Belum sempat Sastra melanjutkan perkataannya, An memberikannya satu pukulan keras yang membuat tubuhnya terhuyung ke belakang tanpa persiapan.
“An!” seru Citra tidak terima. Nana pun memandangnya tidak suka, gadis itu membantu Sastra untuk kembali berdiri tegak, sedangkan Langit menarik mundur tubuh An.
“Lo bilang akan jagain dia. Lo bilang akan selalu melindungi dia. Mana janji lo, Sialan?!” An melepaskan begitu saja lengan Langit di tangannya, ia berjalan cepat ke arah Sastra dan mencengkram kasar kerah di kemaja kusut yang ia kenakan. Matanya yang memerah dan berkaca-kaca, menatap Sastra dengan tatapan marah.
“Cia koma, dia belum bisa bangun, dan semuanya karena lo, Sialan!” teriaknya marah sembari melepas kasar kerah Sastra dan jatuh terduduk di salah satu kursi tunggu, sebelum isak tangis keluar dari mulutnya. An menangis, sembari menutupi wajahnya menggunakan kedua tangan.
Sedangkan Sastra masih diam di tempatnya berdiri, termenung sekaligus terkejut. Mereka baru saja merencakan hal-hal baik untuk masa depan bersama. Lalu, kenapa harus begini? Kenapa harus Cia? Kenapa bukan dirinya saja?
Sastra seolah kehilangan kekuatannya, lelaki itu jatuh terduduk di lantai koridor yang sepi itu, dan mulai menangis tanpa suara. Rasa sakit yang ia terima karena kecelakaan tadi, tidak lebih sakit dari informasi yang baru saja ia dengar.
Ini semua karenanya, kesalahannya membuat Cia menjadi seperti sekarang. Seandainya ia tidak mengantuk, seandainya ia menyetujui saat Cia mengatakan untuk bergantian menyetir, seandainya ia lebih hati-hati, mereka tidak akan seperti ini. Cia masih akan baik-baik saja. Sastra tidak akan memaafkan dirinya sendiri, jika sesuatu yang buruk terjadi kepada Cia setelah ini.
Happy ending versi Cia, Sastra, atau An, pasti berbeda kan?
Kalau mau update lagi besok, coba spam komentar yg banyak dulu di bawahhh 🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥
Buruannnn
Follow ig, wattpad, tiktok, karyakarsa : Rizcaca21
Thank youu
KAMU SEDANG MEMBACA
Melcia Jahanara
Roman d'amourLakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Ya, karena gue nggak pernah memberikan nilai sepuluh ke siapapun. Lakshan Janardana.