Bab 28

2.7K 444 105
                                        

Selamat Membaca
















“Galau nih karena mantannya tahu kita jadian?”

Cia menepuk pelan perut Sastra sembari terkekeh pelan. Mereka kini tengah dalam perjalanan menuju rumah Cia dengan menggunakan motor milik lelaki itu. Setelah pulang dari rumah An tadi, gadis itu memang lebih banyak diam.

“Kok, nggak dijawab? Beneran galau?”

“Apasih, Sas? Enggak, kok. Aku cuman kepikiran Lasmi tadi.”

“Kenapa sama dia?”

“Ya, kamu juga lihat sendiri gimana ekspresinya pas tahu kita jadian. Dia kelihatan sedih. Kamu beneran udah ngomong sama dia? Apa cuman bohongin aku?”

“Aku udah bilang, bahkan meski menurutku itu nggak perlu. Tapi, karena kamu yang minta, aku akhirnya mau.” Lelaki itu mengembuskan napas pelan. Tangannya mengusap lembut tangan Cia di perutnya. “Jadi, bisa berhenti mikirin perasaan orang? Yang ada di hubungan ini, cuma aku dan kamu.”

Cia diam mendengarnya. Dia memang meminta Sastra untuk berhati-hati bersikap saat mereka tengah berkumpul bersama dengan An atau Lasmi. Hubungan mereka terlalu rumit sebelumnya. Cia hanya tidak ingin menimbulkan kecanggungan ketika mereka bersama.

Gadis itu menghela napas pelan, sebelum menyandarkan dagunya di pundak Sastra yang sempat membuat lelaki itu menoleh ke arahnya. “Lapar,” katanya yang membuat Sastra tersenyum.

“Pintar banget kalau ngalihin pembicaraan.”

“Aku yang masak. Kita ke apartemen kamu gimana?”

Sastra terkekeh pelan sebelum berucap, “Suka nih kalau sering-sering main ke apartemen gini,” katanya yang membuat Cia kembali menepuk perutnya kesal.

Sastra kembali dibuat tertawa. Alih-alih memikirkan perasaan orang lain, ia lebih suka menghabiskan waktu berdua dengan Cia. Mengobrol, berbelanja, makan, memasak bersama. Semua waktu dengan Cia, berharga untuk Sastra. Karena itu ia tidak ingin membuang waktu dengan mengurusi perasaan orang lain.

***

Nana berjalan masuk ke ruangan An, dan menghela napas pelan begitu melihat lelaki itu masih berada di sana. Tengah mempelajari beberapa kasus operasi besar yang akan dia lakukan beberapa minggu ke depan.

“Kopi,” kata Nana sembari meletakkan secangkir kopi hangat di meja An, yang membuat lelaki itu menatapnya, tersenyum sembari menggumamkan kata terima kasih.

Nana berjalan ke arah sofa, duduk di sana sembari memerhatikan An yang tampak sangat fokus dengan pekerjaannya. “Lo jarang pulang ke rumah, kenapa?” tanyanya yang membuat An meliriknya sekilas.

“Gue pulang.”

“Lasmi bilang lo menghindari dia dengan nggak pulang, lo tidur di apartemen, kan? Kenapa? Karena Cia?”

Kali ini gerakan An yang tengah membalik lembaran buku terhenti. Lelaki itu termenung beberapa saat sebelum dengusan pelan keluar dari mulutnya. “Kami menyedihkan ya, Na? Bisa-bisanya dibuat patah hati dengan dua orang yang akhirnya memilih bersama,” ujarnya yang membuat Nana menghela napas pelan.

“Lo lupa keinginan lo saat Cia pergi?” tanya Nana yang membuat An menatapnya.

“Gue berharap dia bahagia.”

“Ya, dan Cia mendapatkan itu sekarang. Dari lelaki lain,” ucap Nana yang membuat An menyandarkan punggungnya ke kursi dengan kasar.

“Harusnya gue berharap dengan jelas, supaya Tuhan ngerti. Gue mau Cia bahagia, dan kembali sama gue. Tapi, semuanya udah terlambat kan, Na?” gumamnya pelan.

Melcia JahanaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang