Yang tanya, perasaan kemarin udah beberapa bab, kok sekarang balik lagi jadi bab satu? Iya, ceritanya aku revisi guys. Jadi, kita mulai lagi dari bab satu. Gapapa yaaaa
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya. Kasih semangat dulu ke Ciaaaa 🔥🔥🔥🔥🔥🔥
Tim Sukses AnCia
Dela menambahkan Biru
Biru : APENI?
Dela : Apeni, apeni! Gara-gara info bohongan lo, Cia jadi sedih, ya.
Nana : Tahu nih si Biru, kasih info yang beneran dikit, dong.
Dela : Tanggung jawab lo!
Citra : Ru, lain kali kalau belum pasti, lo diam aja bisa enggak? Kasihan Cia.
Biru : Kenapa, sih?
Biru : Gue nggak paham, main geruduk aja.Dela : Kata lo An beli cincin buat Cia.
Dela : Mana buktinya? Nggak ada, tuh.Biru : Loh, bukan buat Cia?
Dela : Bukan, setan!
Dela : Lo tuh bisanya buat anak orang berharap, doang.
Dela : Dasar tukang PHP!Biru : Ini... kita masih ngobrolin Cia kan, Del?
Dela mengeluarkan Biru
Cia menghela napas pelan, gadis itu memilih tidak membalas apapun pesan di group yang ia tebak masih ramai bahkan setelah ponselnya ia matikan. Cia memilih menenggelamkan dirinya didalam selimut, menyembunyikan dirinya di kamarnya. Sendirian.
An adalah lelaki yang sempurna, dan menjalin hubungan dengan lelaki itu, tentu saja Cia berharap hubungan mereka tidak hanya sampai di sini. Gadis itu tinggal sendirian di Jakarta setelah orangtuanya meninggal. Semua keluarga besarnya tinggal di Malang. Dan, jujur saja, mereka sudah berisik menyuruh Cia untuk segera menemukan pasangan hidup.
Cia pun begitu, ia ingin menikah. Gadis itu sudah sangat mempersiapkan diri. Tapi, rupanya An masih tidak memiliki niat sampai ke sana. Jadi, ia harus bagaimana? Sebagai perempuan, haruskah terus ia yang memulai? Bahkan mengenai hal sakral seperti pernikahan?
Jika dipikir kembali, lelaki itu memang terlihat seperti tidak serius dengan hubungan mereka selama ini. An tidak pernah menceritakan keluarganya kepada Cia. Lelaki itu juga tidak terlihat penasaran dengan keluarga Cia. Hubungan mereka memang seperti jalan di tempat.
“Giliran ketemu yang sesuai, dianya malah nggak mau nikah. Sial banget hidup gue,” gumamnya sembari memejamkan mata, beristirahat sejenak dari sibuknya isi kepalanya saat ini.
***
Sore menjelang malam, An baru bisa memiliki waktu untuk makan siang. Lelaki itu mendekat ke meja, di mana Citra, Biru, dan Angkasa, duduk di sana. Mereka memang bekerja di rumah sakit yang sama, meski berada di spesialis yang berbeda.
“Makan siang atau makan malam?” tanya lelaki itu begitu ia duduk di samping Angkasa, di depannya Biru dan Citra duduk berdampingan.
“Si Citra juga baru makan siang, gue cuman nemenin dia aja. Kalau teman rakus lo itu, ini kayaknya makanan ketiganya dia,” jawab Angkasa sembari menatap Biru yang makan dengan lahapnya.
“Gue nggak pulang berhari-hari,” kata Biru setelah menelan kunyahan terakhirnya. Ia meminum rakus air mineralnya, sebelum mendesah pelan ketika menemukan Citra yang terus menatapnya sinis. “Kenapa, sih, Cit? Gue udah minta maaf kali.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Melcia Jahanara
RomanceLakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Ya, karena gue nggak pernah memberikan nilai sepuluh ke siapapun. Lakshan Janardana.