Selamat Membaca
“Sastra pernah dekat dengan Lasmi. Mereka berteman, tapi teman-teman mereka tahu keduanya saling suka.”
Hembusan napas kasar keluar dari mulut An. Kenapa semuanya seolah memang disengaja untuk saling terhubung? Ia berbalik, menatap Nana yang baru saja berbicara kepadanya. Setelah kejadian di rumah sakit waktu itu, Lasmi marah kepadanya. Enggan berbicara dan selalu menjawab singkat ketika An bertanya.
“Terus gue harus gimana, Na?” tanyanya frustasi. Masalahnya dengan Cia belum selesai. Dan, jika memang Sastra terlibat, itu artinya semuanya akan semakin memburuk.
Nana mendekat, menarik An untuk duduk di sofa ruang kerjanya. Menatap sang sahabat dengan tatapan kasihan. “Selesaikan semuanya satu-satu, An. Jangan berharap semuanya bisa langsung selesai, kalau lo sendiri nggak mau menerima jalan keluar yang udah ada.”
“Na,” panggil An keberatan, ia tahu ke mana arah pembicaraan Nana.
“Ini nggak mudah, gue tahu. Tapi, mau sampai kapan? Lo nggak mau hidup tenang? Lo mau terus menerus hidup dengan diselimuti dendam kayak sekarang? An, jalan itu harus mandang ke depan. Lo boleh noleh ke belakang, tapi cuman sesekali, cuman untuk memastikan kalau jalan yang lo ambil nggak salah. Lo juga boleh noleh kanan kiri untuk melihat sampai mana langkah orang lain. Tapi, cuman sekadar itu, An. Hal yang jauh lebih penting yang harus lo perhatikan adalah langkah dan jalan lo sendiri. Jangan terlalu asyik lihat ke belakang, sampai lo lupa kalau langkah lo terhenti.”
Nana menepuk pundak An beberapa kali. “Sebesar apapun dendam dan rasa marah yang lo rasakan sekarang, jangan sampai lupa kalau Cia juga sama kehilangannya kayak lo.”
Pintu ruang kerja An terbuka dengan kasar begitu saja. Langit, Citra, Bumi, dan Dela, berjalan masuk dengan tergesa. Ekspresi wajah mereka tampak cemas sekaligus khawatir.
“Ada apa?” tanya An bingung.
Langit tidak menjawab, ia meraih remote televisi dan menyalakannya, mengganti cannel sebelum berhenti pada stasiun televisi yang menanyangkan breaking news. An bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat begitu melihat Cia tengah duduk berdua dengan penyiar berita di sana. Dan ... itu adalah siaran langsung.
“Berita ini mungkin akan mengejutkan beberapa orang dan akan melibatkan oknum-oknum penting. Saat ini saya duduk bersama dengan seorang saksi mengenai kasus yang sebentar lagi akan kita tahu. Mbak Melcia, bisa dijelaskan maksud kedatangan anda di sini?”
Gadis itu tampak gugup, An menyadarinya. Setahun bersama, ia mulai memelajari beberapa sikap yang dilakukan Cia tanpa sadar, seperti saat ini, ketika gadis itu sering menyentuh rambutnya ketika ia gugup.
“Saya Melcia Jahanara, anak tunggal dari Bapak Jayandaru dan Ibu Anara, pemilik sekaligus pendiri pabrik rokok KL yang berada di Malang dan beberapa kota besar di Jawa, yang meninggal empat tahun lalu karena kecelakaan.”
Kedua tangan An mengepal erat begitu ia melihat bagaimana kedua mata Cia memerah dan menahan air mata, gadis itu ketakutan dan terlihat sedikit kebingungan. Cia hanya berusaha terlihat baik-baik saja dan menyelesaikan semuanya.
“Kehadiran saya di sini, karena saya ingin menyampaikan kejujuran yang selama ini telah disembunyikan. Kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orangtua saya bukan disebabkan karena rem blong seperti yang sudah diberitakan sebelumnya.” Cia mengembuskan napas berusaha mengusir rasa sesak di dadanya. “Kecelakaan itu disebabkan karena Papa saya menyetir dalam keadaan mabuk. Selama empat tahun ini, keluarga saya, Om dan Tante saya bekerja sama dengan beberapa oknum di kepolisian untuk menyembunyikan fakta ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Melcia Jahanara
RomanceLakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Ya, karena gue nggak pernah memberikan nilai sepuluh ke siapapun. Lakshan Janardana.