Bab 25

2.6K 511 104
                                    

Selamat Membaca















Cia menunggu dengan jantung berdebar di depan ruang operasi. Ia sendirian, karena seperti perkataan Langit sebelumnya, Papa dari Sastra masih berada di ruang operasi lain, sedangkan sang mama sedang dalam perjalanan kembali ke Jakarta dari luar kota.

“Kak Cia.”

Gadis itu menoleh begitu mendengar seseorang memanggilnya, Lasmi yang tengah duduk di kursi roda berjalan mendekat dengan Angga yang mendorongnya. Cia bangkit dan tersenyum menyambut mereka.

“Sastra gimana keadaannya?” tanya Lasmi yang tampak begitu khawatir saat ini.

“Mas An sama Mas Langit masih mengoperasi dia,” jawab Cia sembari kembali duduk di kursi tunggu begitu kursi roda Lasmi berhenti di sampingnya. Gadis itu tersenyum kepada Angga yang mengusap lembut lengannya sebelum duduk di sampingnya.

“Mas Langit yang kasih kabar,” kata Angga seolah mengetahui pertanyaan yang ada di kepala Cia saat ini.

Mereka duduk menunggu di sana selama berjam-jam, sebelum seorang wanita yang Cia perkirakan berusia di akhir empat puluhan berjalan mendekat. Untuk sesaat gadis itu termenung begitu mengenali siapa wanita itu. Dia adalah Hana Permata, penulis senior yang sejak dulu ia kagumi semua karyanya.

“Tante,” sapa Angga sembari berdiri dan menyambutnya.

“Ngga, gimana dengan Sastra? Dia baik-baik aja, kan?” Wajahnya tampak sangat cemas sekaligus khawatir.

“Tante duduk dulu,” kata Angga sembari membawa Mama dari Sastra itu untuk duduk di kursi tunggu yang membuat Cia bangkit berdiri, memberikan ruang. “Sastra masih didalam, aku yakin dia akan baik-baik aja,” ujarnya menenangkan.

Pandangan Mama Sastra beralih ke arah Lasmi yang duduk di kursi roda, menggenggam tangannya lembut. “Kamu juga di sini?” tanyanya yang dijawab anggukan pelan oleh Lasmi.

Gadis itu balik menggenggam tangan Mama Sastra. “Kita semua tahu kalau Sastra adalah lelaki yang kuat, Ma.”

Cia melirik ke arah Lasmi begitu mendengar panggilan yang keluar dari mulut gadis itu. Dia tidak salah dengar, Lasmi memang memanggil Mama Sastra dengan panggilan ‘Mama’. Jadi, sudah sejauh apa hubungan keduanya sebenarnya?

Tidak lama kemudian, lelaki di usia pertengahan lima puluhan berlari mendekat. Wajahnya masih tampak tegas dan penuh wibawa. Ia masih mengenakan pakaian dokternya, wajahnya tampak tenang, namun tatapan matanya terlihat begitu cemas.

“Mas.”

Angga menyingkir begitu Papa Sastra itu berjalan mendekat dan menghampiri sang istri. Duduk di sampingnya, dan menggenggam tangannya erat. “Anak kita akan baik-baik aja, Na. An pasti akan mengusahakan yang terbaik,” ujarnya penuh keyakinan yang lagi-lagi membuat Cia termenung.

Mereka juga sudah mengenal An sebagai kakak dari Lasmi.

“Papa benar, Ma. Mama jangan terlalu cemas, kita doa aja supaya Mas An bisa memberikan yang terbaik untuk Sastra.”

Seolah mengerti kecanggungan yang dirasakan oleh Cia, Angga mendekat dan berdiri di sampingnya yang sejak tadi diam. Ia menginjak pelan hils yang dikenakan Cia yang membuat gadis itu menoleh, dan tersenyum tipis begitu Angga juga menatapnya dengan senyuman menenangkan.

***

Semalam setelah mengetahui keadaan Sastra setelah An dan Langit keluar dari ruang operasi, Cia memilih pulang lebih dulu. Ia sudah mengetahui jika Sastra baik-baik saja, dan itu sudah cukup. Sejujurnya berada di antara orangtua lelaki itu dan Lasmi bukan hal menyenangkan. Rasanya canggung dan membuat perasaannya sedikit tidak nyaman.

Melcia JahanaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang