Selamat Membaca
Yang kangen Cia, Sastra dan An, coba kasih api dulu yg banyakkk 🔥🔥🔥🔥🔥
“Mama kamu bawain makanan. Ada di ruangan Papa.”
Sastra diam, tidak menyahut begitu sang papa berdiri di sampingnya. Pandangan lelaki itu terus mengarah kepada Cia yang masih betah menutup matanya. Tidak ada yang bisa Sastra lakukan selain menunggu, berharap kali ini semesta benar-benar berpihak dan membantunya.
Sengkala – Papa Sastra – mengembuskan napas berat melihat putra satu-satunya yang tampak hilang arah itu. Dua bulan sudah sejak kecelakaan itu terjadi. Cia masih belum juga menunjukkan tanda-tanda untuk kembali membuka matanya.
Sastra benar-benar seperti mayat hidup. Lelaki yang sejak dulu selalu murah senyum itu mendadak selalu berwajah dingin dan muram. Ia berubah menjadi pendiam. Kecelakaan dua bulan lalu benar-benar mengubah lelaki itu.
“Nggak mau makan dulu?” tanya Papa sekali lagi.
Setiap hari, selama dua bulan terakhir, yang Sastra lakukan setelah pulang bekerja hanya duduk diam di samping ranjang tempat Cia berbaring. Cia dirawat di ICU, meski hanya bisa melihat gadis itu ketika kunjungan dibuka, namun Sastra tetap setia menunggu di luar ruangan. Tangannya menggenggam tangan lemah gadis itu. Terus menatap matanya, berharap ia bisa kembali melihat sorot hangat itu.
“Setelah jam kunjungan habis, kamu ke ruangan papa. Makan masakannya Mama, jangan buat dia sedih lihat kamu kayak gini,” ujar sang papa sebelum beralih ke pasien di samping ranjang Cia. Mulai memeriksa kondisinya dengan dua perawat yang mengikutinya.
“Saat itu gimana Papa bisa bertahan ketika Mama juga mengalami koma?” tanya Sastra dengan suara pelan ketika sang papa telah selesai memeriksa kondisi pasiennya.
Sengkala menatap ke arah sang anak, ia lebih dulu berbicara dengan dua perawat, meresepkan obat, sebelum mengatakan agar pasien segera dipindahkan ke ruang rawat karena keadaannya telah membaik. Lelaki tua itu berjalan kembali ke arah sang anak, ikut menatap Cia yang kini bergantung kepada alat-alat di sampingnya.
“Papa percaya sama Mama,” jawabnya singkat. Ia meremas pelan pundak sang anak yang membuat Sastra akhirnya menoleh, mendongak menatapnya dengan sorot mata yang kini terlihat redup itu. “Kita harus percaya sama dia. Saat ini, Cia sedang berjuang untuk kembali membuka mata, dan melihat kamu. Jangan hilang harapan, semuanya bisa terjadi kalau Tuhan menghendaki.”
Sastra kembali tidak memberikan sahutan apapun, lelaki itu menatap ke arah Cia, membawa tangan lemah gadis itu mendekat ke bibirnya, dan memberikan kecupan dalam di sana.
“Seindah apa mimpi kamu sekarang, Cia. Senyaman apa di sana, sampai kamu betah untuk terus memejamkan mata kayak gini. Jangan menetap di sana, Cia. Kembali ke sini, di sampingku. Aku mohon, Sayang,” bisiknya pelan didalam hati sembari memejamkan mata, meresapi bagaimana sakitnya hatinya saat ini. Bagaimana sesaknya perasaannya karena rasa bersalah yang perlahan seolah tengah melahap tubuhnya.
***
Pukul dua malam, Sastra masih terjaga. Duduk diam di kursi tunggu yang berada di ruang ICU. Selama dua bulan ini, rumah sakit seolah menjadi rumah utamanya. Lelaki itu hanya pulang ke rumahnya ketika pagi untuk berangkat bekerja, lalu setelah pulang bekerja ia kembali ke rumah sakit. Menemani Cia.
Sastra menolah begitu seseorang menyerahkan kopi dingin ke hadapannya. Ia menerima kopi pemberian An, membuka tutup kaleng itu, sebelum meneguknya perlahan. Saat ini, hubungan keduanya mungkin bisa dikatakan membaik, meski beberapa kali masih terasa canggung.
An sama berantakannya dengan Sastra. Namun, lelaki itu masih bisa bersikap lebih normal karena tuntutan pekerjaannya. Meski begitu, An juga setiap hari mengunjungi Cia ketika Sastra sedang bekerja. Keduanya seolah bergantian memastikan keadaan Cia.
“Anaknya Langit dan Citra udah lahir. Cowok, mukanya mirip banget sama Langit,” ujar An sembari tersenyum tipis yang membuat Sastra ikut tersenyum dan mengangguk pelan.
“Mbak Citra udah kirim foto anaknya lebih dulu ke gue. Dia memang Mas Langit banget,” sahutnya.
An tidak lagi menyalahkan Sastra. Melihat bagaimana Sastra yang terus hidup dalam rasa bersalahnya, membuat An sadar jika bukan hanya dirinya yang terluka melihat keadaan Cia sekarang. Sastra mungkin jauh lebih terluka, karena ia mulai menyadari sesuatu. Jika rasa cinta Sastra kepada Cia jauh lebih besar dari rasa cintanya kepada gadis itu.
Jika An ingin membuat Cia bahagia, maka Sastra seolah siap memberikan bahagianya kepada gadis itu. Mereka mencintai Cia dengan cara yang berbeda.
“Gue takut,” ucap Sastra setelah beberapa saat mereka hanya terdiam, memandang pintu ICU yang tertutup rapat di depan mereka itu. “Gue takut, Mas.” Sekali lagi lelaki itu mengulang kalimatnya. Kalimat sederhana, yang tanpa dijelaskan lebih jauh, An juga mengerti karena sama-sama merasakannya.
“Kita harus percaya sama Cia, Sas. Kita harus percaya sama dia.” An tidak mampu memberikan jawaban pasti. Ia dan Langit adalah dokter yang menangani Cia. Ia paham betul bagaimana kondisi gadis itu saat ini. Karenanya An berharap keajaiban Tuhan ada bersama mereka.
Ponsel milik An berbunyi nyaring di tengah malam yang sunyi ini. Lelaki itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya, mengangkatnya, diam beberapa saat mendengarkan, sebelum lelaki itu mematikan sambungan telepon. Berdiri dengan cukup tergesa, membuang kopi kalengnya di tempat sampah yang berada didekatnya, sebelum berlari masuk ke ruang ICU yang membuat Sastra ikut menatapnya dengan rasa cemas, belum lagi beberapa saat setelahnya, ia juga melihat Langit berlari masuk begitu saja ke dalam ruang ICU.
Cia akan baik-baik saja... kan?
Iya, tau ini pendekk. Jangan marahhhhh. Nanti aku update lagi, kapannya gatau hehe
Cia akan baik-baik aja kannnn?
Menjelang ending, coba banyakin komennya di bawahhh. Kasih semangat buat Sastra atau An nih?
Follow ig, wattpad, tiktok, karyakarsa : Rizcaca21.
Thank youu 🤍

KAMU SEDANG MEMBACA
Melcia Jahanara
Roman d'amourLakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Ya, karena gue nggak pernah memberikan nilai sepuluh ke siapapun. Lakshan Janardana.