Coba sebelum baca bakar dulu supaya panassssssss 🔥🔥🔥🔥🔥
Selamat Membaca
Pagi ini, Cia datang kembali ke bengkel itu untuk mengambil mobilnya. Ia sudah mendapat kabar jika mobilnya telah usai diperbaiki. Sesampainya di bengkel, gadis itu dibuat menghela napas pelan ketika melihat keberadaan Lovita di sana, tengah mengobrol dengan lelaki yang beberapa waktu lalu sempat Cia dengar bernama Sastra.
“Hai,” sapa Lovita lebih dulu ketika ia menyadari keberadaan Cia.
“Hai,” sapa Cia dengan senyuman tipis, “Mbak udah nggak apa-apa?”
Anggukan pelan Lovita berikan kepada Cia, “Aku udah sehat, kok. Kamu gimana? Beneran nggak apa-apa?” tanyanya yang mendapat anggukan dari Cia. Gadis itu dalam keadaan baik, setelah Biru dan Citra memaksanya untuk memeriksakan diri ke dokter.
“Syukurlah kalau gitu,” kata Lovita sembari tersenyum menatap Cia, senyum yang indah, yang membuat Cia sadar alasan apa yang membuat An sulit melepas gadis di depannya ini. “Mobilnya udah selesai, sisanya nggak usah bayar, dia bilang gratis,” ujar Lovita lagi sembari menunjuk ke arah Sastra yang ternyata sejak tadi terus menatap ke arah Cia.
Cia akhirnya menoleh ke arah lelaki tinggi bernama Sastra itu, “Kenapa gratis?” tanyanya sembari mengeluarkan dompet dari dalam tasnya, “Aku bayar aja, kurang berapa biaya dua mobil?”
“Di depan sana ada yang jual nasi bakar enak banget, you wanna try it?” tanyanya yang membuat Cia menatapnya dengan kening mengerut, gadis itu menoleh ke arah Lovita begitu mendengar kekehan gadis itu.
“Alih-alih bayar sisanya, Sastra mau kita traktir dia makan nasi bakar. Gimana, Cia? Kamu ada waktu?”
“Aku... ada waktu. Tapi—“ Cia terlihat bingung, ia kembali menatap ke arah Sastra yang terus menatapnya sejak tadi, “—memangnya harga nasi bakar sepadan ya, sama kurangnya biaya perbaikan dua mobil?” tanyanya yang membuat Sastra tertawa yang membuat Cia mengerjab beberapa kali. Mengapa cara lelaki itu tertawa terlihat sangat... indah?
***
Cia tidak mengerti apa sebenarnya hubungan yang ada di antara Lovita dan Sastra. Keduanya terlihat begitu akrab dan tidak saling canggung. Tidak mungkin keduanya saudara, karena dilihat dari segi mana pun, tidak ada sedikit kemiripan di antara keduanya.
“Sastra mantan pacarku, Cia,” ujar Lovita yang membuat Cia melongo menatapnya. Lovita kembali tersenyum tipis. “Setelah putus dari An, aku jadian sama Sastra. Tapi, nggak lama.”
Cia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, selain hanya ber-O ria sembari manggut-manggut mengerti. Diam-diam gadis itu melirik ke arah Sastra yang duduk di depannya, dan menemukan lelaki itu yang kembali tidak melepas tatapan darinya. Cia harus mengakui, tipe lelaki yang Lovita sukai selalu mempunyai aura mahal.
Ketika masih sibuk dengan pikirannya, gadis itu dibuat terkejut dengan Lovita yang pamit lebih dulu. Cia hendak mengikutinya, namun Lovita seolah tidak membiarkannya. Gadis itu menyuruh Cia untuk menghabiskan lebih dulu nasi bakarnya.
“Tuna asapnya enak, mau tambah enggak, Mbak?”
Cia menatap lelaki di depannya ini dengan kening mengerut, “Sori banget, tapi sejak tadi lo terus manggil gue dengan sebutan ‘Mbak’, sedangkan lo manggil Lovita pakai nama. Gue rasa gue nggak setua itu,” katanya.
“Lo memang nggak setua itu, sih. Tapi, gue yang terlalu muda buat lo."
“Gimana?”
Sastra menatap Cia dengan senyuman lebar, “Gue kelahiran 2001,” katanya yang membuat Cia menjatuhkan sendok yang tengah ia pegang begitu saja. Gadis itu menatap Sastra dengan syok. Kalkulator di kepalanya mencoba berhitung dengan cepat, dan gadis itu menutup mulutnya karena terkejut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Melcia Jahanara
RomansLakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Ya, karena gue nggak pernah memberikan nilai sepuluh ke siapapun. Lakshan Janardana.