Selamat Membaca
Jika bisa mengubah keadaan, An ingin sekali pergi ke masa lalu, mengatakan kepada dirinya yang dulu, jika merelakan segala sesuatunya, menerimanya dengan hati yang lapang, adalah pilihan yang baik, karena jika tidak melakukannya, maka ia akan menyesal.
Namun, semuanya terlambat. Aksi balas dendamnya kepada Cia, berujung kepada rasa cinta yang sebelumnya tidak pernah ia duga. Selama ini An selalu berlindung di balik kata dendam, dan ketika perlahan semesta melepas kata dendam itu pada dirinya, lelaki itu baru menyadari jika cintanya tak kalah besar kepada Cia.
“Udah makan?”
An yang baru saja beristirahat di ruangannya, membuka mata, dan menatap ke arah Nana yang berjalan masuk ke dalam ruangannya sembari membawa beberapa box makanan. “Bawa apa lo?” tanyanya sembari bangkit dan berjalan ke arah sofa.
Nana menyusul, tersenyum sembari mulai membuka kantung keresek dan mengeluarkan box makanan dari sana. “Karena akhir-akhir ini lo kelihatan suntuk banget. Jadi, gue pesenin makanan Thailand dari resto kesukaan lo.”
Lelaki itu tersenyum, meraih sumpit dan menatap beberapa makanan yang memang menjadi kesukaannya itu. Dan, An harus termenung beberapa saat begitu makanan Thailand itu malah mengingatkannya kepada Cia. Gadis itu selalu menolak ketika An mengajaknya makan masakan Thailand.
“Apa bedanya makan bubur nasinya Thailand sama bubur ayam? Sama aja, kan? Aku nggak suka, lebih kenyang sarapan ketoprak aja.”
An menghela napas pelan, sebelum meletakkan kembali sumpit di tangannya ke meja, yang membuat Nana menatapnya sembari mengerutkan kening. “Kenapa? Kata Mbak Najwa tadi lo belum makan dari pagi,” ujar Nana sembari menyebut perawat senior yang selalu mendampingi An.
“Gue ingat Cia, dia nggak suka makanan Thailand,” katanya jujur yang untuk sesaat membuat Nana terdiam, sebelum gadis itu meraih sendok, membuka wadah berisi bubur nasi dengan udang, sebelum mulai menyuapi An yang membuat lelaki itu sempat mengerutkan kening.
“Lo harus punya tenaga ekstra, untuk melihat gimana bahagianya Cia sekarang sama Sastra.”
An mendengus sinis, sebelum terkekeh pelan sembari meraih wadah dan sendok dari tangan Nana. “Sialan lo,” katanya sebelum menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya.
Sedangkan Nana hanya tersenyum tipis, dan membuka wadah lain berisi pad thai miliknya. Memakannya sembari menatap An yang juga memakan bubur nasinya. Puluhan tahun menyembunyikan perasaannya, entah An memang tidak menyadari atau pura-pura tidak menyadari, Nana tidak peduli. Selama masih bisa di samping lelaki itu, dan memastikan An hidup dengan baik, rasanya sudah cukup.
***
Malam ini, sepulang kerja, Sastra menjemput Cia untuk makan malam bersama di sebuah tempat makan yang tidak jauh dari rumah gadis itu. Bukan tanpa alasan lelaki itu mengajak Cia bertemu kali ini. Sastra ingin melamar gadis itu. Ia sudah berbicara dengan orangtuanya, dan mereka merestui meski hubungan Sastra dan Cia belum terlalu lama.
“Sebenarnya kamu nggak usah memaksakan diri, Sas. Wajah kamu kelihatan capek banget. Kita bisa ketemu besok, kok,” ujar Cia ketika melihat Sastra yang terlihat lelah. Lelaki itu lembur belakangan ini, kurang tidur, hingga membuat kantung matanya terlihat. Beberapa kali pun sejak tadi Sastra tampak menguap.
Lelaki itu menggeleng pelan. Diam sesaat karena makanan mereka mulai disajikan di meja, sebelum kembali menatap ke arah sang kekasih. “Malam ini kan tepat seratus hari kita pacaran, jadi ini malam spesial,” katanya yang membuat Cia terkekeh singkat.
“Gini nih, risiko pacaran sama brondong.”
Sastra berdecak pelan. “Kamu kenapa sih, nggak pernah bantu aku untuk menciptakan suasana romantis,” gerutunya yang membuat Cia kembali terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melcia Jahanara
Storie d'amoreLakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Ya, karena gue nggak pernah memberikan nilai sepuluh ke siapapun. Lakshan Janardana.