Bab 17

2.9K 522 73
                                        

Selamat Membaca












Jangan lupa kirim api dan spam cinta yg banyakkkk 🖤🔥🖤🔥🖤🔥🖤🔥














Cia duduk sendirian di sebuah bar. Kepalanya penuh, dadanya sesak, matanya berusaha keras menahan tangis. Dan, sialnya ia tidak punya tempat untuk mengeluh. Malam ini, gadis itu baru saja kembali dari Malang. Cia pergi sendirian ke Malang untuk menemui keluarga besarnya. Ia menyampaikan semua yang hendak ia lakukan. Namun, keluarganya menolak. Mereka marah dan mengatakan hal-hal yang cukup kasar untuk Cia dengar.

“Kamu memang tidak menyayangi orangtua kamu, Cia. Untuk apa kisah kelam empat tahun lalu kamu ungkit kembali? Nama baik orangtua kamu akan hancur, lalu bagaimana dengan pabrik rokok itu? Jangan berbesar kepala hanya karena kamu mampu hidup mandiri setelah kepergian orangtua kamu, Cia. Kamu tidak akan menjadi diri kamu seperti sekarang, jika pabrik itu tidak ada.”

“Selama ini kamu sudah berhasil menjadi anak yang penurut, lalu ... teruskan. Jadi, anak yang penurut untuk menjaga nama baik serta usaha keluarga kita. Cia, tidak ada orang yang benar-benar baik di dunia ini. Semua itu hanya topeng, karena itu jangan terlalu naif dan bertingkah seperti malaikat. Keluarga kita akan hancur kalau kamu bertingkah sedikit saja mengenai kejadian empat tahun lalu.”

Cia meneguk kembali gelas berisi bir yang ia pesan. Di ujung bar ini, gadis itu bisa melihat jelas bagaimana orang-orang tampak berbahagia dengan teman-teman mereka, sedangkan ia sendirian. Dengan mata berkaca-kaca, gadis itu kembali meneguk minumannya.

Jika masih bersama dengan An, lelaki itu pasti akan sangat marah melihat Cia duduk sendirian di bar dengan meja yang penuh minuman beralkohol. Namun, An tidak di sini. Lagi-lagi Cia harus duduk kesepian dan berteman dengan semua lukanya.

“Dunia emang nggak pernah adil. Tuhan selalu pilih kasih,” gerutunya yang sudah mulai kehilangan kesadarannya karena beberapa botol yang sudah ia habiskan sendirian.

Di saat Cia tengah asyik dengan dunianya dengan kesadaran yang sudah menipis, beberapa orang lelaki memasuki bar, dan duduk di meja yang tidak terlalu jauh dari meja Cia. Salah satu di antaranya menyipit memandang Cia.

“Dia ... mantan lo bukan, An?”

Mendengar namanya disebut, An yang tadi baru saja datang bersama teman-teman basketnya ikut menoleh ke arah yang ditunjuk oleh temannya. Lelaki itu termenung beberapa saat menatap Cia yang terus meneguk minuman di gelasnya.

“Iya, itu mantannya An, yang jadi penulis itu, bukan? Siapa, sih, namanya? Mel – Melcia? Iya, itu Cia kan, An?” sahut temannya yang lain, yang membuat An mengalihkan pandangan dari meja Cia dan mengangguk pelan.

“Dia sendirian? Berani banget, anjir.” Teman-teman An terlihat masih fokus memandangi Cia, meski minuman mereka telah disajikan di meja. Ketika An baru saja menyesap vodka pesanannya, salah satu temannya kembali berucap.

“Nggak mau lo samperin? Dia udah kelihatan mabuk,” katanya yang membuat An kembali menoleh ke arah Cia. Benar, gadis itu memang terlihat sudah kehilangan kesadaran.

“Dia datang ke bar sendirian, minum sebanyak itu, dia pasti udah tahu konsekuensinya gimana,” jawab An yang membuat teman-temannya saling berpandangan, sebelum mengendikkan bahu dan memulai pesta mereka.

Namun, seberapa besar An berusaha menekan rasa tidak pedulinya, ia tetap tidak bisa. Lelaki itu bangkit berdiri yang membuat teman-temannya menatapnya, An berjalan ke arah meja Cia, dan menepuk pelan seorang lelaki yang hendak duduk di samping Cia.

“Dia sama gue, Bang,” katanya yang membuat lelaki itu mengangguk pelan.

“Oh, gue pikir dia sendirian,” jawab lelaki itu sebelum berjalan menjauh, yang hanya ditanggapi An dengan senyuman tipis.

Melcia JahanaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang