Bab 23

2.3K 480 107
                                    

Selamat Membaca











Maaf updatenya kemaleman 🥺🥺
















Sebulan setelah postingan Cia terakhir kali yang seolah menjelaskan di mana keberadaannya selama tiga tahun ini, gadis itu kembali menghilang. Tidak ada yang tahu di mana keberadaannya, entah Cia masih berada di Mongolia atau gadis itu sudah kembali ke tanah air.

Pagi ini sebelum berangkat ke rumah sakit, An menyempatkan waktunya untuk singgah sebentar di makam kedua orangtuanya. Lelaki itu membawakan bunga, tidak lupa juga untuk orangtua Cia. Sebulan sekali, di tengah kesibukannya, setelah kepergian Cia, An selalu datang mengunjungi makam orangtua dan kakaknya, juga orangtua Cia.

Dengan membawa bunga dalam genggamannya, An berjalan masuk ke tempat pemakaman. Yang pertama ia tuju adalah makam orangtua Cia yang memang lebih dekat dengan jalan, setelah berdoa sebentar, dan meletakkan bunga di sana, An bangkit dan berjalan menuju makam orangtuanya.

Ketika langkahnya hampir sampai, lelaki itu berhenti begitu mengenali punggung siapa yang tengah berdiri di sisi makam kedua orangtuanya itu. Genggaman An mengerat pada sisa bunga di tangannya.

Dia masih sama. An bisa mengenalinya dengan cepat bahkan meski wajahnya belum terlihat. Tidak ada yang berbeda, gadis itu menjaga berat badannya dengan baik hingga semuanya terlihat masih sangat di mata An dengan tiga tahun yang lalu. Rambutnya masih sependek dulu.

Lalu, ia berbalik. Tampak terkejut melihat An yang berdiri beberapa langkah di depannya, namun itu hanya berlaku sebentar, karena setelahnya gadis itu memberikan An senyuman tipis yang benar-benar mampu menyentuh lelaki itu di ruang yang selama ini ia biarkan kosong setelah kepergian gadis itu.

“Apa kabar, Mas?”

Tidak, An salah. Ada yang berbeda dari gadis yang menghilang tiga tahun lalu itu. Melcia yang berdiri di depannya ini bukan lagi gadis yang ia kenal dulu. Jika dulu tatapan mata Cia seolah terlihat meredup, kini matanya terlihat jauh lebih bersinar. Senyumnya yang dulu hanya sebagai bentuk pertahanan dirinya, kini senyum gadis itu tampak tulus.

“Bapak penjaga makam cerita semuanya, katanya kamu selalu mengunjungi orangtuaku ketika kamu mengunjungi orangtua kamu. Makasih, ya.” Lagi-lagi Cia tersenyum menatap An yang masih tampak diam di tempatnya. “Aku nggak bawa bunga untuk orangtua dan kakak kamu, nggak sempat beli karena tadi aku langsung ke sini setelah dari bandara,” ujarnya sekali lagi yang kali ini membuat An berjalan mendekat, dan membawa tubuh Cia ke dalam dekapannya.

“Terima kasih karena telah kembali, Cia,” kata An dalam dan penuh penekanan, lelaki itu memejamkan mata dan mempererat pelukannya di tubuh Cia yang membuat gadis itu tersenyum tipis, dan balik memeluk tubuh An, menepuk dan memberi usapan lembut di punggung bidang lelaki itu.

***

Malam ini Dela melahirkan putra pertamanya, dan tentu saja semua teman-teman mereka datang berkunjung ke rumah sakit. Cia pun begitu. Ia sudah seminggu kembali ke Jakarta, dan belum ada satu pun teman mereka yang tahu kecuali An. Gadis itu tidak berniat menyembunyikan, ia memang hanya belum ingin bertemu dengan mereka semua, dan An pun juga memilih diam.

“Aku nggak tahu mau beli apa buat Mbak Dela, sekarang beneran nggak apa-apa nggak bawa sesuatu, Mas?” tanya Cia yang tengah berjalan beriringan dengan An di lorong rumah sakit menuju kamar VIP yang ditempati Dela.

“Kamu datang, dia pasti sangat senang.”

Seminggu ini, karena Cia masih berusaha menyesuaikan diri dengan Jakarta setelah lama di pedesaan di Mongolia, An menemaninya. Mengantarkan makanan, mengajari Cia cara mengendarai mobil lagi, dan beberapa hal lainnya.

Melcia JahanaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang