Bab 18

2.2K 460 111
                                    

Selamat Membaca












Tarik napas, dan tenangin dulu sebelum baca. Jangan lupa spam api dulu buat merekaaaa 🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥









Cia tidak mendapat kabar dari Sastra sejak dua hari yang lalu. Setelah lelaki itu mengantarkannya pulang dari apartemen An. Setelah Cia bercerita dan menjelaskan jika ia mabuk dan An membantunya. Seingat Cia tidak ada yang salah dari ceritanya, dan juga dilihat dari respons Sastra, lelaki itu terlihat biasa. Namun, ia menghilang sejak dua hari yang lalu.

Jika biasanya Sastra selalu mengabsennya setiap pagi, kini lelaki itu tidak melakukannya. Cia juga tidak menghubunginya lebih dulu karena ... malu? Sebenarnya ini bukan dirinya sama sekali, namun entah kenapa ia ragu jika harus menghubungi Sastra lebih dulu. Mereka tidak sedekat itu untuk saling mencari ketika salah satu di antaranya menghilang bukan?

“Terus kenapa lo di sini, Cia,” gumamnya kepada dirinya sendiri ketika Cia menyadari jika ia telah mengemudikan mobilnya sampai di depan bengkel milik Sastra dan teman-temannya.

Gadis itu menghela napas pelan, karena sudah telanjur sampai, ia memilih turun dari mobil. Ketiga teman Sastra yang tampak sibuk dengan sebuah mobil menoleh dan menyambutnya dengan senyuman lebar.

“Coba gue tebak, semoga isinya bukan nasi bakar di depan,” kata Jio begitu ia melihat keresek besar yang Cia bawa.

Gadis itu terkekeh singkat sebelum menyerahkan keresek itu yang langsung diterima Jio dengan semangat. “Nasi padang, sekalian beli buat yang lain juga,” ujarnya mengarah kepada beberapa karyawan yang bekerja di bengkel.

“Wih, makasih, Mbak.” Jio berjalan ke belakang menghampiri karyawan yang lain. “Bang, istirahat dulu. Ini ada makanan gratis dari calonnya Pak Bos,” katanya yang membuat Cia terkekeh pelan.

“Gue juga makan duluan ya, Mbak. Lapar banget dari pagi belum sarapan,” kata Fatan yang membuat Cia mengangguk beberapa kali.

“Makan yang banyak, tadi gue sengaja beli banyak, kok.” Setelah tersisa hanya Cia dan Angga, gadis itu menatap teman Sastra yang cukup pendiam itu. “Nggak mau makan juga?”

“Lo jarang ke sini, kenapa?”

“Ada sedikit urusan. Btw, teman lo mana?” tanyanya yang sempat membuat Angga mengerutkan kening.

“Kebiasaan emang Sastra, tuh,” ujarnya sembari meletakkan obeng yang sejak tadi ia pegang. “Dia pasti ngilang dan nggak kasih kabar sama sekali, kan?” tebaknya yang dijawab anggukan oleh Cia. “Kalau Sastra sakit, sukanya emang gitu.”

“Loh, Sastra sakit?”

“Sejak dua hari yang lalu, demam sama tekanan darahnya rendah. Jadi, sama Om Sengkala disuruh istirahat dulu di rumahnya.” Cia manggut-manggut mengerti mendengarnya.

“Lo mau jenguk?” tanya Angga yang membuat Cia menatapnya terkejut. “Sastra kalau lagi sakit, nggak pernah mau nunjukin itu ke orang yang dia sayang, Mbak. Dia nggak mau orang yang dia sayang melihat sisi lemahnya dia,” kata Angga yang mampu membuat Cia diam dan menatapnya bingung.

***

Setelah pergi dari bengkel Sastra dan teman-temannya, Cia mengemudikan mobilnya menuju galeri, tempat ia dan Lasmi membuat janji untuk bertemu. Meski An selalu saja bersikap ketus dan menyalahkan Cia, namun Lasmi berbeda. Gadis itu terlihat ingin berteman dengan Cia dan merelakan semua yang sudah terjadi.

“Kak Cia tahu kenapa aku suka lukisan?” tanya Lasmi ketika ia dan Cia tengah berkeliling berdua, dengan Cia yang mendorong kursi roda gadis itu.

“Karena kamu suka melukis?” tebak Cia yang dijawab kekehan oleh Lasmi.

Melcia JahanaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang