Selamat Membaca
Sebelum itu aku mau bilang sesuatu untuk lelaki seperti An di luaran sana. Coba lihat akibat dari ulah yang kamu lakukan. Ga semua orang punya mental yang kuat. Ga semua orang bisa bertahan dengan luka yg kamu anggap sepele itu
Lets gooo, bakar dulu yukkkk, kasih semangat buat Ciaaaa 🔥🔥🔥🔥🔥🔥
Siang ini, setelah sejak pagi ia sibuk membuat cheesecake untuk An, Cia kini tengah mengendari mobilnya untuk sampai ke apartemen An lebih dulu. Gadis itu sudah mendapat kabar dari Langit, jika An baru saja menyelesaikan sift malamnya dan sedang beristirahat di apartemen.
Iya, masih dengan hal yang sama. Terus melukai dirinya sendiri sampai Cia akan tiba pada titik, menatap An dengan perasaan kosong. Cia akan terus melukai dirinya sendiri, sampai detaknya menghilang ketika matanya bertemu dengan mata lelaki itu.
Dengan senyum mengembang dan perasaan bahagia, gadis itu membunyikan bel beberapa kali. Sejak dulu, An selalu menyukai cheesecake buatannya. Lelaki itu beberapa kali bahkan minta dibuatkan secara khusus oleh Cia ketika suasana hatinya memburuk.
Pintu apartemen terbuka dan senyuman Cia menghilang seketika saat melihat Lovita yang membuka pintu untuknya. Tidak jauh berbeda dengan Cia, Lovita juga tampak terkejut ketika melihat keberadaaan Cia di sana. Kedua gadis itu terdiam beberapa saat dengan perasaan canggung, sebelum sebuah suara terdengar dari dalam apartemen, An muncul dengan ekspresi wajah yang terlihat pucat.
“Mas An sakit?” tanya Cia tanpa bisa menahan dirinya.
An menghela napas pelan melihat keberadaan Cia di depan apartemennya. “Mau apalagi, Cia?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Cia lebih dulu. An terlihat seperti benar-benar enggan berhadapan dengan Cia saat ini. Lelaki itu terlihat muak.
“Udah minum obat?” tanya gadis itu lagi tanpa peduli bagaimana raut wajah An saat ini.
An kembali menghela napas. “Udah ada Lovita yang merawat aku, kamu ada perlu apa?”
Cia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa sakit di dadanya, gadis itu menyerahkan cheesecake yang dia buat. “Cheesecake buat Mas An,” katanya yang membuat An menatap kotak di tangan gadis itu dengan tatapan datar.
“Bawa pulang,” ujar An yang membuat Cia menatapnya dengan kening mengerut.
“Mulai hari ini, aku nggak akan menerima makanan pemberian kamu lagi. Aku harap kamu benar-benar paham apa itu arti berhenti, Cia.”
“Aku buat ini sendiri,” ujar Cia sembari menahan lengan An yang hendak masuk ke dalam apartemennya.
An menatap dingin ke arah tangan Cia yang berada di lengannya, sebelum matanya menyorot tajam tepat ke kedua mata gadis itu, “Bawa pulang, atau aku buang?”
“An,” panggil Lovita dengan nada memperingatkan yang malah membuat rasa sesak di dada Cia semakin terasa. Kedua mata Cia sudah berkaca-kaca, namun gadis itu masih enggan melepas tatapnya dari lelaki di depannya saat ini.
Cia menoleh ke arah Lovita dengan matanya yang berkaca-kaca, “Boleh aku bicara berdua sama Mas An?” tanyanya yang sempat membuat Lovita terkejut, sebelum akhirnya gadis itu mengangguk. Melangkah keluar apartemen, dan hendak membiarkan Cia berjalan masuk, namun An lebih dulu menarik lengan Lovita.
“Kita akan bicara, dengan Lovita di sini,” katanya yang membuat Cia menatapnya dengan terluka.
“Setega ini kamu sama aku, Mas?” Kali ini Cia tidak bisa menahan air matanya, gadis itu menangis di depan Lovita. “Aku nggak meminta kamu untuk kembali, aku cuman mau kita bicara berdua,” katanya yang membuat Lovita hendak melepaskan tangan An di pergelangannya, namun lelaki itu malah mempereratnya dengan mata yang terus menatap ke arah Cia.
“Kita udah berakhir, Cia. Dengan cara kayak gimana lagi aku jelasin supaya kamu paham? Sekarang... kamu terlihat seperti gadis yang nggak punya malu, Cia.”
“Semua ini juga karena kamu!” sentak Cia kasar dengan air mata yang tidak mau berhenti membasahi wajahnya. “Mas, aku akan berhenti. Aku akan berhenti dengan penuh kesadaran, kalau kamu mengakhirinya dengan cara baik.”
“Sejak awal, kalau niat kamu cuman sekadar main-main, kalau niat kamu hanya untuk mencari pelarian atas rasa sakit kamu, jangan aku, Mas. Kamu tahu gimana keadaanku. Kamu tahu gimana menyedihkannya hidupku. Kamu tahu gimana Tuhan selalu menghadapkan aku dengan sebuah kehilangan. Tapi, kamu tetap memaksa masuk. Kamu harusnya nggak melakukan sejauh itu kalau aku bukan akhir dari pilihan yang kamu buat.”
Keduanya masih saling balas menatap, An mempererat genggamannya di pergelangan tangan Lovita, meski matanya terus menatap wajah Cia yang penuh tangis saat ini.
“Aku juga nggak akan bisa masuk, kalau kamu nggak membukakan pintu itu untuk aku, Cia,” katanya yang membuat Cia mendengus sinis, dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Lelaki itu... menyalahkannya.
“Kamu...” Cia melangkah mendekat, dan menunjuk tepat ke arah dada bidang An, “—datang seolah membawa jawaban atas semua hal sulit yang sudah aku lalui. Kamu datang dengan menawarkan kebahagian yang selama ini seolah mustahil aku dapatkan. Kamu datang membawa keyakinan, kalau dengan kamu, aku boleh kembali memimpikan masa depan indah dan mewujudkannya bersama kamu.”
Cia menatap An dengan rasa sesak, lelah, kecewa, marah, semua hal yang gadis itu pendam selama ini, ia perlihatkan siang ini di hadapan lelaki itu. Lelaki yang menjadi sumber luka dan bahagianya.
“Gimana bisa aku nggak membuka pintu, saat kamu datang dengan membawa semua itu, Mas?” tanyanya lelah dengan isak tangis yang terdengar semakin keras.
***
Cia mengemudikan mobilnya tak tentu arah, sampai mobil yang ia kemudikan, berhenti di jembatan yang cukup sepi. Jembatan yang jaraknya cukup dekat dengan bengkel milik Sastra. Gadis itu diam di dalam mobil setelah melepas seatbeltnya dan kembali menangis.
Perlahan, gadis itu keluar dari mobil, dan berjalan menuju ke pinggir jembatan. Arus sungai di bawah sana cukup deras karena tengah malam kemarin, hujan turun cukup lebat. Ini bukan kali pertama, pikiran untuk mengakhiri hidup, bukan kali pertama singgah di kepala Cia.
Sejak dulu, Cia selalu memikirkan berbagai cara untuk mengakhiri rasa sakitnya. Membeli pisau lipat yang paling baru di mana ujungnya masih sangat tajam. Membeli obat tidur dengan dosis tinggi. Dan... berdiri di tengah jembatan seperti sekarang. Cia sering melakukannya, namun sejak ia mengenal An dan teman-teman lelaki itu, pikiran buruk itu sempat menghilang, sebelum sepertinya pikiran itu kembali bersarang di kepala Cia.
Gadis itu menghela napas pelan dengan tangis yang tidak mau berhenti sejak tadi. Ia lelah. Sungguh lelah. Tidak ada lagi tempat untuk menampung keluh kesahnya setelah orangtuanya pergi. Cia juga tidak terlalu dekat dengan keluarga besarnya di Malang. Ia juga tidak memiliki teman dekat. Tapi, Tuhan seolah tidak mengerti itu. Tuhan seolah memaksanya untuk terus sendirian. Sedangkan Cia, tidak pernah sekuat itu untuk menghadapi segalanya di atas kedua kakinya sendiri.
Dengan tangan yang bergetar, Cia meraih besi yang menjadi pembatas di jembatan itu, satu kakinya melangkah naik ke ujung besi itu, sebelum... seseorang menarik kasar tubuhnya hingga mereka jatuh di jalanan aspal itu.
“LO UDAH GILA?!”
Cia masih terus menangis, kali ini isaknya semakin keras. Gadis itu terus menangis, namun tangannya memegang kaus yang dikenakan oleh seseorang yang menarik mundur tubuhnya begitu saja.
“Sastra, gue capek,” katanya dengan suara yang bergetar, “Gue capek... banget.”
Hembusan napas kasar terdengar dari mulut Sastra, sebelum lelaki itu membawa tubuh Cia ke dalam dekapannya. Memeluknya erat setelah menjatuhkan beberapa kecupan di kepala gadis itu.
“Gue di sini. Gue di sini, Mbak,” ucap Sastra dengan penuh penekanan. Rengkuhannya semakin erat ketika mendengar tangis Cia terdengar semakin keras, “Apapun itu, hal sekecil apapun yang membuat lo mau tinggal sedikit lebih lama, gue akan melakukannya. Jangan kayak gini, Mbak. Jangan membuat gue takut.”
Untuk kalian, yg mungkin lagi ada di posisinya Cia. Yg lagi capek dengan semua masalah di hidup kalian, bertahan ya. Bahkan untuk hal sekecil mungkin, karena aku juga sedang mengusahakannya 🖤
Thank you.
Follow ig, wattpad, karyakarsa, tiktok : Rizcaca21.

KAMU SEDANG MEMBACA
Melcia Jahanara
Roman d'amourLakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Ya, karena gue nggak pernah memberikan nilai sepuluh ke siapapun. Lakshan Janardana.