28 - Si Gadis Dibunuh

45 7 0
                                    

.

.

Gani merasa gentar ketika mediasi antar pihak Fatih dan Ormas berjalan panas dan semakin alot, suasana tegang jelas terlihat di lobby apartemen lamanya yang disulap menjadi ruang pertemuan mereka. Pendukung ormas yang rata-rata preman semakin memenuhi lobby.

Fatih terpaksa harus menelepon kenalannya di kepolisian agar tetap menjaga suasana tetap kondusif, tapi mereka terus saja berteriak-teriak galak—seolah memprovokasi dan membuat kegaduhan.

Gani sangat salut atas ketenangan Fatih yang menghadapi mereka, pria itu tampak kalem dan tak terpancing emosi. Segala lontaran ucapannya tenang tapi tegas, entah mengapa ketenangan Fatih justru membuat mereka meradang seolah Fatih meremehkan mereka.

Rasanya mulut Gani sudah tak tahan memaki mereka yang bicara asal ngomong tanpa tahu aturan hukum yang berlaku, ini membuat Gani sangat dongkol.

"Bang aku mau ke toilet deh.. mau ngebasuh muka—ini kayaknya makin panas" ijin Gani, dia muak melihat tingkah para preman yang menunggangi ormas. Orang-orang tipe seperti ini biasanya tong kosong nyaring bunyinya.

"Kamu ngga apa-apa sendirian? Aku minta tolong anggota biar nemenin kamu ke toilet. Aku khawatir—"

"Iya" setuju Gani

Satu anggota polisi mengikuti Gani ke toilet, dia berjalan ke koridor yang menuju toilet lantas Gani berpapasan dengan seorang kakek yang dikira umurnya sekitar 65 tahun. Gani mengangguk sopan tapi kakek itu memandangnya dengan raut kecut.

"Dasar orang-orang kaya yang suka ngerebut lahan orang miskin—" gerutunya. Wajah kakek itu terlihat ketus dan mencibir.

Mendengar perkataan tak enak itu membuat Gani mendelikkan matanya tak suka "Pak, hati-hati kalau bicara" tegur Gani

Dia tetap memandang Gani dan memperhatikan perut Gani yang membuncit. Gani kemudian kembali menilik wajah kakek itu, raut wajahnya tampak familiar, seperti ia pernah melihatnya—tapi dimana?

"Sudah. Jangan bikin masalah" tegur anggota polisi tadi membuat kakek itu melengos dan berjalan menjauhi Gani.

"Bu, begitulah kalau orang yang suka ngomporin, kata-katanya suka ngga enak didengar" hibur anggota tersebut

"Saya juga ngga ngerti maunya mereka itu apa sebenarnya, sudah dikasih berbagai solusi tapinya selalu saja ngga merasa puas" tanggap Gani

"Memang kadang kelewat batas dan permintaannya tidak masuk akal. Saya sudah biasa ngehadapin orang-orang seperti itu—susah dikendalikan dan mencoba memancing kami agar bertindak keras, lantas kalau sudah begitu mereka malah memutarbalikkan fakta seolah-olah korban kekerasan apparat. Serba salah kalau sudah begini"

"Ya, semoga saja kedua belah pihak bisa menyelesaikan dengan damai" tanggap Gani

"Iya, Bu. Sudah sampai. Saya tunggu di luar" angguk polisi itu

Ganipun masuk ke toilet dan polisi itu menjaga di luar, Gani memandang wajahnya di cermin lalu menyalakan keran dan mulai membasuh wajahnya beberapa kali. Dia enggan memakai atribut make up hari ini, hanya sunscreen dan lipstick nude.

Perasaannya campur aduk, antara masalahnya dengan Math dan juga dengan ormas itu. Namun sekarang perasaannya didominasi oleh jengkel luar biasa karena masalah ormas tadi. Hari ini orang-orang bikin suasana panas aja—gerutu Gani dalam hati.

Namun tak lama kemudian, panas di kepalanya berangsur menghilang, dia merasakan ada aura yang berbeda. Rasa dingin...

Sudah lama dia tidak merasakan hawa dingin itu hingga Gani nyaris lupa perasaan dingin aneh yang membuatnya tak enak. Rasa yang membuat tulangnya membeku dan aliran darahnya terhenti—bulu kuduknya merinding. Karena sudah nyaris dua bulan terakhir, dia tak pernah mendapatkan penampakan atau kilasan tentang si perempuan ghaib ini.

BENANG MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang