12. Klien Baru

44 10 0
                                    


.

.

"Gani, sore ini kita mau meeting sama klien baru" pinta Pak Reynold—atasan Gani.

"Jam berapa Pak?"

"Saya sudah bikin janji temu sekitar jam 4 atau 5 sore ini, karena klien bisanya ketemuan jam segitu. Kamu ngga apa-apa kalau lembur?"

"Oh, meetingnya dimana Pak?"

"Di kantor klien. Saya lagi nunggu konfirmasi tepatnya jam berapa"

"Baik, Pak. Klien ini punya kasus apa? Biar saya siapkan"

"Pengalihan kepemilikan property. Saya juga belum tahu persisnya—kita ngobrol saja dulu, mungkin klien pengen konsultasi hukum"

"Oke Pak" sahut Gani mengangguk

Setelah Pak Reynold menghilang dari meja kerja Gani, dia segera mengambil ponsel untuk mengabari Math.

.

"Sayang, kamu dimana?"

"Di jalan nih. mau jemput kamu. Kamu pulang on time kan?"

"Aku kayaknya ngga bisa, Math. Pak Reynold ngajak meeting ke klien baru Jam 5-an"

"Oh. Jadi kamu pulang jam berapa entar?"

"Ngga tahu. Nanti aku ngabarin, kamu ada jadwal ngajar private kan di rumah Amelia?"

"Iya, ini aku lagi bareng sama dia. Sekalian anterin dia pulang"

"Oke. Aku kabarinn lagi nanti, take care sayang"

"You too, Babe"

"I will"

.

Math menutup ponselnya "Kita ngga jadi jemput Gani. Dia masih ada kerjaan. Jadi gimana? Tetep ngga mau pulang?" tanya Math pada Amelia

Amelia menggeleng, justru ia enggan pulang dengan alasan masih galau dan memilih untuk bisa bersama Math selama mungkin.

"Aku nungguin kamu aja di café di depan kompleks rumah, sambil nungguin kamu beres ngajar private adik"

"Terus abis itu kamu mau kemana?"

"Aku belum tahu. Aku sambil mikirin deh di café nanti. Lagian sayang banget Gani harus lembur. Aku pengen banget ngobrol sama dia"

"Gani biasanya lembur ngga lama kok, jam 9 malem juga udah beres—biasanya sih gitu"

"Btw, kalau kalian punya anak nanti. Kamu tetep biarin istri kamu kerja?"

"Kalau dianya masih mau kerja, ya aku ngga akan larang. Dia kan pengen ngejar karier, lagian kerjaan aku ngga terikat waktu yang strike—kalau sibuk ya sibuk, kalau ngga ya nyantei. Gampang itu sih.. bayinya juga belum lahir, nyantei aja"

"Hmm.. beneran envy deh. Kayaknya enak punya suami kayak kamu"

"Kenapa emang?"

"Nyantei, seolah ngga ada beban. Terus pengertian dan ngga gengsi kalau harus ngurus rumah karena istrinya kerja"

"Ngapain gengsi sih.. dulu mungkin iya. Awal-awal aku keluar rumah, aku mesti adaptasi dengan kondisi yang serba terbatas. Bahkan kita mau makan di café aja sampai mikir-mikir dua kali, padahal dulu aku ngga pernah mikir, mau makan apa, mau makan dimanapun—aku ngga pernah mikir karena pegang duit. Tapi semenjak hidup mandiri, aku jadi paham gimana susahnya cari duit dan menghargai apa yang kita dapatkan dengan memanfaatkannya sebaik mungkin. Memutuskan menikahi Gani, membuat aku menjadi lebih menghargai apa yang dulu aku anggap remeh"

BENANG MERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang