14. Rumah Sakit

708 36 1
                                    

Sebuah taksi berhenti di depan rumah Keenan. Tidak sampai sepuluh detik, si empunya rumah keluar dengan masih berseragam sekolah lengkap. Keenan baru pulang sekolah. Bersamaan dengan laju taksi, dia berjalan masuk menuju halaman rumahnya.

"Argh!"

Keenan membungkuk sambil memegangi perutnya yang tiba - tiba sakit. Sebelah tangannya berpegangan pada sisi pagar rumah karena dia nggak kuat menahan tubuhnya karena rasa sakit di perutnya. Semakin lama rasa sakitnya semakin menjadi. Keenan sudah meringis kesakitan dan beberapa kali menahan napasnya. Butiran keringat mulai membanjiri tubuhnya.

Di dalam rumah, bi Pur sedang bersih - bersih ruang tengah sambil menyanyi - nyanyi kecil. Lalu dia dikagetkan dengan kedatangan Keenan yang kesakitan dan berpegangan sisi dinding rumah. Usaha yang cukup berat untuk Keenan bisa sampai di dalam rumah dalam kondisi kesakitan seperti itu.

"Astaga, Den Keenan!" Bi Pur langsung membuang kemocengnya dan berlari menghampirh Keenan. "Den Keenan kenapa?" Bi Pur memegangi tubuh Keenan yang basah keringat. "Den Keenan sakit perut?"

Keenan masih menekan kuat perutnya dan kesakitan. "Anterin ... aku ke kamar ... Bi ...."

"Iya. Iya, Den. Ayo Bibi antar." Bi Pur yang cemas setengah mati pun berusaha membopong tubuh Keenan dan membawanya ke anak tangga rumah.

Tapi baru saja sampai di anak tangga pertama, Keenan ambruk ke lantai karena sudah tidak bisa berjalan lagi. Rasa sakitnya semakin menyiksa tubuhnya.

Bi Pur tentu panik. "Den Keenan. Den Keenan nggak apa - apa? Yang mana yang sakit, Den?" Bi Pur yang khawatir sudah hampir menangis. Dia berusaha bagian perut Keenan yang mungkin bagian yang sakit, tapi Keenan justru berteriak karena semakin sakit. Bi Pur semakin khawatir, "Den Keenan kenapa sebenarnya? Bagaimana ini?"

"Huek." Keenan membungkam mulutnya sendiri saat merasakan ingin muntah. Cairan berwarna merah kental keluar dari sela - sela jari tangannya.

Bi Pur membelalakkan matanya melihat darah di tangan Keenan
"Astaga, Den!" Bi Pur menarik tangan Keenan dan melihat ada banyak darah yang dimuntahkan Keenan. Bi Pur menangis dan ketakutan saat dua detik kemudian Keenan terkulai lemas di pelukannya.

Keenan pingsan.

"DEN KEENAN!" Bi Pur berteriak dengan spontanitas. "Den Keenan bangun, Den. Bibi mohon bangun, Den." Bi Pur menepuk - nepuk pipi Keenan.

Keenan tetap pingsan. Wajahnya memucat dan darah bekas dimuntahkan tadi mengotori baju seragamnya.

Bi Pur semakin ketakutan. "Bagaimana ini? Bangun dong, Den! MANG ASEP! MANG ASEP!"

🍁🍁🍁


Iqbal baru selesai mengadakan meeting dan keluar dari ruang meeting diikuti asisten pribadinya.

"Apa klien dari Hongkong sudah datang?" tanya nya pada sang asisten.

"Sudah, Pak. Mereka sudah ada di Denpasar sejak tadi pagi. Dan akan menunggu kita di tempat biasa sekitar satu jam lagi."

Iqbal mengangguk - angguk dan mengecek jam tangannya. "Masih satu jam. Kita bisa gunakan waktunya untuk memeriksa berkas - berkasnya dulu. Tidak perlu terburu - buru."

"Baik, Pak."

Ponsek Iqbal berbunyi. Tertera nama 'Keenan' di layar ponselnya. Dia tersenyum mengetahui adiknya yang menelepon.

"Hallo, Adikku. Ada apa lagi, nih?" sapanya ceria.

"Den Iqbal, ini Bibi."

Iqbal kaget plus bingung bukannya mendengar suara Keenan, tapi malah suara bi Pur. "Lho? Bi Pur? Kok Bibi, sih?"

Keenan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang