Ponsel Keenan yang ada di atas meja bergetar. Panggilan masuk dari Albert. Tapi tak ada yang menjawab telepon karena Keenan sedang tidur. Berkali - kali ponsel bergetar karena Albert terus menelepon. Keenan entah mendengar suara getar ponsel atau tidak. Dia sempat terbangun sebentar tapi malah mengubah posisi tidurnya membelakangi ponselnya. Kelihatannya dia tidak sadar ponselnya bergetar.
Albert yang masih ada di jalanan komplek sekitar rumah Dino pun menyerah menelepon Keenan.
"Oh iya, Keenan lagi sakit. Pasti dia lagi istirahat sekarang. Besok aja, deh."
Sementara itu Iqbal terlihat keluar dari ruangan dokter Anna dengan wajah lesu. Tangan kanannya memegang sebuah amplop putih berukuran sedang. Iqbal duduk di lobi sambil memegangi kepalanya yang terasa pening itu. Dia baru saja mengambil tes ginjalnya dari dokter Anna. Dan hasilnya ....
"Kondisi ginjal kamu dua - duanya sehat. Tapi kecocokan ginjal kamu dan Keenan cuma 25%. Kamu tidak bisa mendonorkan ginjal kamu untuk Keenan."
Iqbal tidak percaya dengan ucapan dokter, lalu dia membuka amplop di tangannya yang merupakan hasil tes yang sedang mereka bicarakan. Dan saat membacanya, mata Iqbal melebar. Tingkat kecocokan memang hanya 25%.
"Tapi Dokter, saya kakak kandungnya. Mana mungkin tingkat kecocokannya hanya 25%? Ini pasti salah, Dokter." Iqbal tidak bisa menerima.
"Iqbal, keluarga atau saudara kandung belum pasti memiliki tingkat kecocokan yang tinggi. Hal ini memang seperti itu adanya. Ginjal yang bisa didonorkan harus memiliki tingkat kecocokan minimal 30% atau lebih. Kamu tidak bisa mendonorkan ginjal dengan kecocokan 25%."
Iqbal pun mulai stres dan bingung. Dia masih tidak percaya ginjalnya tidak cocok buat Keenan padahal sebelumnya dia yakin semuanya akan berjalan sesuai keinginannya.
Di lobi rumah sakit yang sepi, Iqbal mengacak - acak rambutnya kesal. Lalu dia merogoh ponselnya dan menelepon mama dan papa. Cuma mereka harapan Iqbal saat ini untuk Keenan setelah dia gagal. Tapi mama dan papa tetap tidak bisa dihubungi dan itu membuatnya marah.
Iqbal menelepon ke tempat lain karena gagal menghubungi orangtuanya.
"Hallo? Ini saya Iqbal anaknya pak Raffi. Kalau boleh tahu apa pak Raffi ada di kantor?" Iqbal ternyata menelepon resepsionis di kantor papanya. "Apa??? Perjalanan bisnis ke Swiss?" Iqbal langsung menutup teleponnya dan meninju udara karena marah. Pantas saja papanya tidak bisa dihubungi dari kemarin.
Dengan menaruh sedikit harapan, Iqbal gantian menelepon ke kantor mamanya."Hallo? Apa bu Tamara ada di kantor? Apa? Bisnis ke Bangkok?"
Iqbal hampir membanting ponselnya lagi karena kemarahan yang meluap dalam dirinya, tapi dia bisa menahan diri dengan cukup meninju tembok.
Setelah merasa sedikit tenang, Iqbal memutuskan untuk kembali ke ruang rawat dan melihat adiknya. Tapi begitu sampai di depan pintu, Iqbal ragu untuk masuk. Dia tidak sanggup melihat wajah Keenan karena merasa tidak berguna. Mama dan papa yang menjadi harapan terakhir nya pun sekarang berada di luar negeri dan Iqbal tidak tahu bagaimana cara memberitahu mereka. Haruskah mereka mematikan teleponnya? Iqbal terduduk di kursi dan mengurungkan niatnya masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keenan (Completed)
Teen Fiction(Biasakan FOLLOW dulu sebelum membaca) Ini tentang Keenan dan semua rasa sakitnya. Ada banyak kesedihan yang tersimpan di balik sebuah senyuman. "Jangan menyimpan rasa sakit itu sendirian. Berbagilah rasa sakitmu denganku."