Tamara masih terus menangis tanpa tahu Keenan sedang melihat mereka. "Papa jangan tinggalin Mama. Kita sudah sepakat akan rujuk lagi demi Keenan, kan? Papa sudah janji akan membahagiakan Mama dan anak - anak. Papa bangun, Pa!"
Iqbal memejamkan matanya, dan air mata terjatuh dari kedua matanya. Sama seperti Tamara, dia juga sedih dan hancur dengan kematian Raffi yang mendadak. Tapi dia tidak boleh juga terlihat rapuh di depan mamanya. Setelah kematian Raffi, sekarang dia yang berkewajiban menjaga mama dan adiknya. Dia harus tetap kuat agar bisa menjaga mereka.
"Papa bangun, Pa!" Tamara mengguncang - guncang tubuh Raffi yang pucat dan sudah tak bernyawa itu. "Papa sudah janji, jadi Papa nggak boleh pergi gitu aja, Pa. Bangun sekarang."
"Ma, udah, Ma. Papa udah pergi." Iqbal berusaha menenangkan mamanya. Lalu entah kenapa tanpa sengaja Iqbal menoleh tepat ke arah Keenan berdiri. Dia tentu kaget melihat adiknya berdiri tidak jauh dari tempat mereka. Sejak kapan Keenan di sana?
"Keenan?"
Mendengar Iqbal menyebut nama 'Keenan' membuat Tamara menoleh dan tepat melihat ke tempat yang sama dilihat Iqbal. Tempat Keenan berdiri menatap kosong ke arah mereka. Tamara kaget melihat Keenan. "Keenan?"
Keenan cuma berdiri tanpa menunjukkan reaksi apa pun. Dia terlalu shock untuk bisa bereaksi kaget atau sedih. Namun meskipun tak terlihat reaksi apa pun di wajahnya dan tatapannya yang kosong, Tamara dan Iqbal bisa melihat dengan jelas kedua mata Keenan mulai memerah dan air matanya mengalir di pipinya.
"PAPA!" Keenan yang sudah tidak kuat dengan kesedihan yang dia rasakan, langsung menjatuhkan kantong infus yang sejak tadi dipegangnya. Jarum infus terlepas dari lengannya dan darah mulai berceceran saat dia berlari ke arah papanya. "PAPA!" Keenan langsung menangis dan memeluk jenazah papanya.
Iqbal panik melihat darah berceceran dari lengan Keenan. Dia merogoh - rogoh semua sakunya dan akhirnya menemukan sebuah sapu tangan lalu dia balutkan pada lengan Keenan agar darahnya berhenti mengalir.
"Dokter, tolong," pinta Iqbal pada seorang dokter yang masih menemani mereka.
Dokter berusaha memegang lengan Keenan untuk menghentikan darahnya, tapi Keenan yang bahkan tidak peduli dengan tangannya yang mengeluarkan darah, terus saja menggerak - gerakkan tangannya untuk memeluk dan memukul - mukul tubuh papanya sehingga dokter kesulitan mengobatinya.
"Papa jangan mati, Pa! Bangun, Pa!"
Tamara yang melihat kesedihan Keenan, juga semakin tak kuasa menahan tangisnya. Dia cuma bisa memeluk Keenan.
"Keenan, tangan kamu berdarah," ujar Iqbal yang khawatir.
Tamara yang melihat darah terus menetes dari lengan Keenan jadi ikutan panik. "Keenan, berikan tangan kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Keenan (Completed)
Teen Fiction(Biasakan FOLLOW dulu sebelum membaca) Ini tentang Keenan dan semua rasa sakitnya. Ada banyak kesedihan yang tersimpan di balik sebuah senyuman. "Jangan menyimpan rasa sakit itu sendirian. Berbagilah rasa sakitmu denganku."