GDM 41

10K 792 146
                                    

Sana duduk termenung menatap jendela. Kegiatannya sudah berlangsung sejak tiga puluh menit lalu.

"Sana bodoh!" Keluhnya sembari mengusap wajahnya kasar. Dua kata itu pun juga sudah terucap sejak tiga puluh menit lalu.

Ia tengah meratapi tindankan nekatnya dengan keluar dari pekerjaan yang selama ini cukup mampu membiayai kehidupannya. Sekarang Ia harus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang lagi.

"Gimana ini melanjutkan hidup." Ucap Sana pelan. Diambilnya ponsel kemudian Ia membuka aplikasi M-Banking.

"Seratus delapan puluh tiga juta, mana bisa bertahan hidup pakek uang segini. Mau ngelamar kerja lagi tapii--Aggrkk berita sialan." Sana sempat menyayangkan dirinya yang terlalu gegabah untuk keluar dari pekerjaanya.

Sana kembali mengurut keningnya. Ia tengah memikirkan jalan apa yang harus Ia ambil untuk mendapatkan uang demi membiayai kehidupan glamornya.

"Credit card Raden masih ku pegang sih." Ucap Sana kemudian dengan tegas Ia menggelengkan kepalanya, tidak mungkinkan dirinya mau minta duit ke Raden, ayolah harga diri juga harus dijaga. Dirinya juga sudah tidak ada hubungan dengan Raden. Memikirkan Raden begini, kembali membuat Sana sedih.

Raden memang masih tetap mengiriminya pesan. Entah bertanya sudah makan atau belum, tidur nyenyak atau tidak, bahkan cowok itu menanyakan apakah dirinya sudah minum atau belum. Benar-benar membuat Sana kehilangan kata-kata. Dari semua Chat yang dikirimkan Raden tak ada satupun yang Sana balas.

Tak mau terlalu pusing memikirkan jalan hidupnya. Sana menelfon seseorang.

"Halo kak?"

"Halo, jajan yuk Mil"

"Jajan! Hayuk, aku--apa sih nakula--siapa by?--Kak Sana, aku jemput kak." Sana tertawa geli mendengar percakapan kedua orang itu.

"Oke-oke"

Sana mengganti baju kerjanya dengan kaos dilengkapi dengan cardigan dan celana jeans panjang. Tak lupa mini bag dari brand Gucci sebagai pelengkap. Jangan ditanya tas ini dari siapa? Tentunya dari mantan Sana, bahkan Ia sampai lupa tas ini dari mantan Sana yang mana. Maklumlah sangking banyaknya mantan.

Selang lima belas menit Milka datang. Sana menyeritkan dahinya. Disana sudah ada Milka dan Nakula dengan masing-masing membawa motor.

"Kak Sana." Sapa Nakula kelewat semangat, Sana membalasnya.

"Hai, Nakula."

"Kak, maaf ya Nakula ngotot banget mau ikut." Ringis Milka, padahal dirinya sudah memberikan  penjelasan tapi kata Nakula dirinya juga mau jajan. Bilang aja gak mau pisah dari Milka.

"Gak papa kok. Ayo berangkat." Ketiganya berangkat menuju tempat tujuan.

Sesampainya mereka ditempat tujuan, Sebuah cafe yang cukup fancy. segera mereka memesan makanan.

"Hahh? Jadinya keluar kerja Kak?." Tanya Milka memastikan, yang Milka tau Sana sangat mencintai pejerjaanya. Mendengar Sana keluar membuat Milka cukup terkejut.

"Gak sayang Kak?" Lanjut Milka.

"Ya mau gimana lagi." Ucap Sana sembari menggidikan bahunya. Nakula hanya menyimak, fokusnya kini pada makanan dihadapannya.

"Emang lebih baik keluar kok Kak. Pilihan kakak tepat." Ucap Milka sembari mengusap bahu Sana, mencoba memberikan semangat.

"Jadi Kak Sana mau ngelamar kerja dimana?." Tanya Milka yang dijawab gelengan kepala. Itulah yang Sana pusingkan sekarang.

"Mau ngelamar kerja kayaknya gak memungkinkan Mil. Tau sendiri sekarang sosial media gimana?" Milka menggaruk keningnya yang tiba-tiba gatal. Betul juga. Sana bahkan memikirkan bahwa dirinya kini di blacklist dari semua perusahaan karena sebutan baru yang Ajeng dan Bella semangatkan, pelakor.

Kedua wanita berbeda umur itu terdiam, sibuk dengan pemikirannya masing-masing.

"Ada ruko dideket sekolah Kak, siapa tau Kak Sana minat mau buka usaha disana." Celetuk Nakula mencoba memberikan solusi.

"Tempatnya cocok banget Kak, dideket sekolah juga gak ada tempat nongkrong." Lanjut Nakula.

"Tuh Kak." Ucap Milka dengan penuh semangat. Melihat bakat Sana yang pandai di dapur, tidak salahkan jika Sana membuka usaha makanan.

"Boleh-boleh, Nanti kita kesana ya." Ucapnya, Ia juga pernah mempunyai cita-cita memiliki cafe kecil-kecilan, "tapi, untuk sewanya pasti mahal ya" lanjut Sana, mengingat uangnya sekarang pas-pasan.

"Murah Kak. Nakula yang punya." Ucap Milka, Nakula tersenyum lebar sekali kemudian menganggukan kepalanya.

"Uang sewanya dipikir nanti aja Kak, pakek dulu aja rukonya sayang juga kalau nganggur." Sana tersenyum haru.

"Makasih banyak Nakula."

"Sama-sama kak, jadi direstuin doang pacaran sama Milka." Ucap Nakula dijawab anggukan oleh Sana, dengusan oleh Milka dan teriakan penuh semangat dari Nakula.

***

Ditempat lain.

Raden mentap ponsel di genggamannya. Saat ini kepalannya terasa mau pecah. Memikirkan perusahaan dan juga masalah percintaanya. Sana masih saja mendiaminya. Tak ada satupun pesan yang Sana balas. Ia takut Sana benar-benar akan meninggalkannya dan mendapatkan laki-laki lain, seperti yang dikatakan Cakra semalam.

"Beneran Mas udah putus dari Mba Sana?" Tanya Cakra memastikan kabar burung yang sempat didengarnya. Raden tak menjawab ucapan Cakra, Ia saja juga bingung apakah sudah putus dari Sana atau tidak.

"Wah-- siapin hati ya mas, abis ini pasti yang ngincer Mba Sana buat dijadiin istri ngantrinya udah kayak ngisi BBM." Raden mendengus kesal kemudian memilih untuk meninggalkan Cakra yang tertawa lebar sekali.

Raden sangat mewajarkan sikap marah Sana padanya. Ia harus mengambil tindakan cepat.

"Raden, sudah ditungguin Ajeng di mobil." Ucapan Neneknya menghentikan lamunan Raden.

"Mau kemana?"

"Kamukan hari ini mau fitting baju, milih undangan juga. Gimana sih kamu."

Raden menghela nafas kasar, Ia bangkit dari duduknya berjalan menuju mobil. Ajeng tengah duduk di bagian tengah sembari memainkan ponselnya.

"Geser"

"Ah--Iya Mas." Ajeng menggeser duduknya memberikan tempat untuk Raden. Senyuman manis bertengger dibibirnya.

"Udah makan malam Mas?." Tanya Ajeng dijawab gelengan kepala oleh Raden.

"Mau makan malam bareng? Kebetulan aku-"

"Gak usah." Potong Raden.

"Jalan pak." Lanjut Raden pada supir yang sedari tadi mendengar percakapan keduanya.

Sepanjang perjalanan di isi oleh cerita Ajeng yang sama sekali tak Raden dengarkan. Jika yang disebelahnya adalah Sana mungkin beda cerita.

"Nenek bilang kita nanti gak perlu nunda anak Mas." Kepala Raden rasanya seperti dihantam balok. Rasa pusing di kepalanya pun semakin menjadi.

"Minggir Pak." Perintah Raden sembari menepuk pundak Pak Riadi. Dengen patuh Pak Riadi menepi di bahu jalan. Tanpa sepatah kata pun Raden keluar dari Mobil meninggalkan Ajeng yang meneriaki namanya. Raden mempercepat jalannya, bersama Ajeng membuat hatinya semakin tak karuan.

*****
Papay 💕


Gold Digger And MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang