11. Curhat

2 2 0
                                    

  Pagi yang sejuk mengiringi jalan Relyn hingga ke kelas. Ia bertemu dengan Seryl yang tengah berduaan dengan Kio. "Seryl ikut gue yuk!" ajak Relyn setelah meletakkan tas. 

  "Ke mana?"

  "Taman sekolah!" jawab Relyn.

  "Boleh ya Say?" Seryl meminta izin pada Kio.

  "Nggak! Nggak boleh," jawab Kio. 

  "Alah ayolah Say!" rengek Seryl dengan wajah memelas.

  "Iya Say, boleh kok aku cuma bercanda... Hehehehe." Sudut bibir Seryl langsung terangkat usai mendapat persetujuan dari sang kekasih.

  "Iihh ... Makasih Sayang!" ucap Seryl sembari mencubit pipi Kio.

  "Nggak usah pakai cubit-cubit segala kali, Say! Sakit!" ringis Kio.

  "Iya maaf Sayang!" ucap Seryl sembari mengelus pipi Kio yang usai ia cubit.

  "Cih ... Pakai drama segala lo!" cibir Relyn seraya keluar bersama Seryl.

  "Seryl, gue mau curhat ke lo!" ucap Relyn.

  "Curhat aja, silakan!" jawab Seryl.
 
  Sepatah katapun belum keluar dari mulut Relyn, namun air matanya lebih dulu menetes. Relyn tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi memaksa keluar saat mengingat Viren.

  "Lah. Kok nangis? Ada apaan? Cepet ngomong, jangan nangis dulu!" Seryl sontak terkejut saat netranya menangkap air mata Relyn membasahi pipi. Relyn mengangguk lalu menceritakan segala kejadian kemarin, mengeluarkan segala kata-kata yang terpasang dipikirannya meski derai air mata.

  "Gue menyesal sungguh menyesal. Gue bodoh, sangat bodoh. Kenapa kmarin gue tidak membesuknya dulu malah langsung pulang sehingga gue tidak tau kondisinya dan penyebab kejadiannya, gue jadi penasaran terus, kepikiran terus dari kemarin, hati gue tersiksa sama rasa pemasaran! Iiiiihhh rasanya gue ingin menyakiti diri gue sendiri! Huhuhuhuhu," ungkap Relyn diikuti isak tangis.

  "Ssssttt .... Lo gaboleh menyakiti diri sendiri! Lo harus sabar, ini ujian!" tutur Seryl.

  "Jika suatu saat nanti gue tahu orang yang membuat pacar gue begitu, akan gue habisi dia!" geram Relyn.

  "Lo gaboleh gitu Lyn, itu nanti akan membuat kerusuhan! Mendhing bicarakan baik-baik!" nasihat Seryl.

  "Tapi gue emosi, gue udah nggak sabar lagiiiiii! Huhuhuhuhu..." jawab Relyn dengan suara tinggi menandakan kefrustasian.

  "Kontrol emosi lo! Jangan selalu mengandalkan emosi karena dengan emosi masalah kita tidak akan cepat selesai!" Lagi-lagi Seryl menasihati Relyn dan mencoba menenangkannya. "Husssssttt ... Udah diam, gue ngerti perasaan lo sekarang! Gue mohon kontrol emosi lo, jangan sampai lo nekat melakukan kejahatan sama diri lo sendiri. Kalau nanti lo udah tau orang yang membuat Viren terluka, tolong lo jangan langsung hajar dia, semuanya bisa dibicarakan baik-baik, Relyn! Lo tau itu?" Kini Seryl memeluk Relyn dari samping sembari mengelus-elus bahunya. Relyn mengangguk usai mendengar nasihat Seryl tersebut.

  "Kalau ada masalah, lo bisa langsung curhat ke gue! Nggak usah sungkan-sungkan!" ucap Seryl diangguki Relyn.

  "Makasih ye. Karena lo udah baik sama gue!" Seryl hanya mengangguk sembari tersenyum lalu melepas pelukan ketika emosi Relyn telah turun.

  *****

  Pada waktu istirahat, kantin sekolah ramai dikunjungi para siswa/siswi tak terkecuali Relyn, Seryl dan Kio yang tengah duduk berdekatan. Relyn hanya menggeletakkan kepala di meja tanpa mengeluarkan sepatah katapun, sembari memikirkan Viren yang tak masuk sekolah. Wajar saja, karena dia tengah rawat inap di rumah sakit.

  Hati Relyn merasakan sunyi kala tak ada Viren disampingnya tanpa kabar. Benar saja, selepas Relyn pulang dari rumah sakit, tak sekalipun ia mendapat kabar dari Viren. Relyn memakluminya, namun ia terpaksa harus merasakan kesunyian yang mendalam. Meski suasana disekitar cukup ramai, namun tetap saja hatinya sunyi karena tak ada Viren.

  "Lyn, bicaralah! Jangan diam terus! Kalau lo diam malah banyak pikiran jadi stres lo ntar!" Seryl mencoba menghentikan lamunan Relyn. Seryl berharap, Relyn dapat menuruti omongannya, namun harapannya gagal karena Relyn tetap setia pada diamnya. Hanya kesedihan dan penyesalan yang menempati hati Relyn. Dalam hatinya selalu bertanya 'kapan Viren sembuh dan kembali lagi seperti dulu?' dan juga menanyakan orang yang membuat kekasihnya terluka. Pasalnya, pada saat itu Viren tak memberi tahu Relyn bahwa Feki mendatanginya dengan penuh emosi sehingga Relyn tak tahu.
 
  Tak lama kemudian, datang seorang lelaki tak diundang. Dia adalah Feki yang tiba-tiba duduk di kursi samping Relyn. Relyn mengetahuinya, namun ia abaikan. Seryl dan Kio pun sama. Karena mengingat beberapa waktu lalu Kio dihajar olehnya.

  "Lyn, ikut gue yuk!" ajak Feki yang dibalas gelengan oleh Relyn.

  "Ayoklah, kali ini aja!" bujuk Feki sembari menarik tangan Relyn.

  "Paan sih lo? Pergi sana, nggak jelas!" gerutu Relyn sembari melepas tangan dari genggaman Feki.

  "Ayok!" Feki menarik Relyn dengan tenaga dalamnya hingga Relyn berhasil menjauh dari tempat duduk. Lalu, Feki membawa Relyn pergi.

  "Sayang, itu mau dibawa ke mana? Aku khawatir sama Relyn," tanya Seryl.

  "Ya udah, ayo kita ikutin!" ajak Kio.

  *______*

  "Aku cinta kamu Relyn, kamu mau jadi pacarku?" Feki menggenggam kedua tangan Relyn. Kini mereka berada di taman belakang, taman sepi yang jarang dikunjungi. Ia menggunakan kesempatan dalam kesempitan, mengungkapkan cinta kepada Relyn dikala Viren sakit.

  "Nggak! Gue nggak mau!" jawab Relyn meletakkan tangan di belakang.

  "Ayolah! Lo nggak inget masa-masa kebersamaan kita dulu, lo nggak rindu masa-masa itu?" tanya Feki mengembalikan ingatan Relyn pada masa kebersamaannya dengan Feki.

  "Gue inget kok! Tapi gue nggak rindu!" jawab Relyn memalingkan muka.

  "Gue rindu itu Lyn. Ayolah kasih gue kesempatan sekali lagi! Lo bisa putusin Viren dan pacaran sama gue, karena lo pasti tau gue lebih dulu deketin lo daripada Viren!" ungkap Feki.

  "Mau lo rindu atau enggak, itu bukan urusan gue!" jawab Relyn.

  Mendengar jawaban itu, emosi Feki mulai muncul. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras, siap meninju orang dihadapannya. Feki mencoba mengontrol emosi karena sadar dihadapannya itu perempuan yang tidak boleh ditindak semena-mena.

  "Kenapa sih lo harus pacaran sama Viren?" tanya Feki dengan nada tinggi. Kepalan tangan yang siap meninju, kini mendarat di pohon besar dekatnya.

  "Kamu nanyea?" tanya Relyn balik.

  "Kenapa lo nerima cintanya Viren? Padahal gue juga cinta sama lo?" Lagi-lagi Feki bertanya.

  "Itu bukan urusan lo Fek! Gak usah banyak nanya deh, lo!" jawab Relyn.

  "Tolong jelaskan apa maksud lo nerima cinta Viren begitu saja!" pinta Feki.

  "Siapa cepat dia dapat. Lo emang cinta sama gue, tapi lo terlambat menyatakan perasaan lo ke gue, Viren lebih cepat menyatakan perasaan ke gue daripada lo! Lo tau itu?" jawab Relyn membuat Feki mengangguk-angguk.

  "Oke. Kalau itu alasan lo! Tapi inget! Gue bakal ngelakuin cara apapun agar bisa dapetin lo!" celetuk Feki.

  "Itu nggak penting untuk gue ingat!" timpal Relyn.

  "Lo boleh bicara sesuka hati lo! Pokoknya inget, suatu saat nanti gue bakal  membuat lo jatuh cinta sama gue! Oke, sekarang lo boleh kembali ke habitat lo! Terima kasih atas waktu lo selama ini!" Tanpa menjawab Relyn langsung pergi.

  Tak ada yang menyadari bahwa sedari tadi ada yang mendengar pembicaraan mereka.

 

 

 

 

 

 

 

Diary RelynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang