Di tengah keramaian jalan raya, tampak dua motor yang dinaiki 3 remaja membelah jalan dengan santai. Siapa lagi kalau bukan Relyn, Seryl dan Kio. Mereka hendak menjenguk Viren di rumah sakit.
Sebelumnya, mereka mampir ke supermarket guna membeli buah tangan. Relyn begitu senang saat mengambil beberapa makanan untuk sang kekasih. Meski ia sedikit gerogi karena harus bertemu dengan orang tua Viren lagi, namun ia berusaha tampak biasa.
Setiba di rumah sakit, Relyn berjalan percaya diri dengan mengenakan sweather dan tas selempang. Tak lupa tangan kanannya membawa plastik hitam yang berisi oleh-oleh. Seryl dan Kio juga mengikuti langkah Relyn sembari bercanda sesekali.
"Assalamualaikum!" salam Relyn mewakili sepasang insan di belakang.
Cklek ...
"Waalaikumsalam," jawab orang tua Viren serentak.
Viren yang sedari tadi menatap langit ruangan, kini beralih menatap mereka. "Kalian! Silakan masuk!" ucap Viren diangguki mereka. Relyn tak lupa bersalaman dengan kedua orang tua Viren lanjut meletakkan plastik hitam di nakas.
"Bagaimana kondisi kamu sekarang?" tanya Relyn sebelum duduk bersama Seryl dan Kio.
"Aku udah baikan!" jawab Viren.
"Mengapa kamu bisa begini? Siapa yang bikin kamu begini?" tanya Relyn.
Tanpa disadari, Reren beranjak dari sofa lalu mendekati mereka. "Kamu nggak usah tanya. Harusnya kamu sadar kalau semua ini gara-gara kamu!"
Suasana menjadi sunyi seketika. Mulut Relyn terbuka dan ditutup dengan tangan kanannya. Ia terkejut karena mendapat tuduhan yang tak dimengerti. Bukan hanya Relyn, namun sepasang insan yang sedari tadi bersantai di sofa pun, juga ikut terkejut. Mereka saling menatap tak percaya.
"M-m-m-maksudnya?" Relyn bertanya gugup. Viren tak berani membela jika ada Ayahnya.
"Saya udah tau semua dari Viren. Kalau kamu nggak pernah dekat sama Feki, atau kamu nggak pacaran sama anak saya, anak saya nggak akan seperti ini," terang Reren.
"Hah? Bagaimana maksudnya, saya tidak mengerti!" Relyn bertanya sembari menormalkan tubuhnya.
"Gara-gara kamu pernah deket sama Feki, dan sekarang kamu pacaran sama anak saya, Feki cemburu sampai dia datang ke rumah kita untuk memcelakai Viren saat saya dan istri saya lagi bekerja!" jelas Reren menusuk hati Relyn. Ia telah mengerti semuanya sekaligus tak menyangka bahwa Feki melakukan perbuatan segitu jahatnya.
Tubuh Relyn lemas, ia tak mampu berdiri hingga terjatuh di lantai. Seryl yang mendapati itu, sontak menghampiri Relyn sembari memeluknya. Relyn tak kuasa menahan air mata dengan perasaan yang berkecamuk. Ia sedih akan kondisi Viren sekaligus marah dengan Feki. Di lubuk hati terdalamnya, terasa penyesalan yang luar biasa.
Andaikan ia tak pernah menjalin kedekatan dengan Feki, mungkin sekarang hubungannya baik-baik saja. Andaikan ia tak berpacaran dengan Viren, semuanya akan baik-baik saja. Ahhh ... Itu hanya khayalan semata. Nasi sudah menjadi bubur, semuanya tak dapat diubah, terpaksa Relyn harus menerima penyesalan dengan ikhlas.
"Maafkan aku ... Maafkan aku... Hiks... Hiks.. Hiks!" isak Relyn terdengar nyaring.
"Maaf kamu tidak bisa menyembuhkan anak saya!" sahut Reren. Lesi juga turut meneteskan air mata saat mendapati kejadian tersebut. Ia sedih dengan kondisi anaknya sekarang sekaligus merasa kasihan dengan Relyn, namun jika sang suami bertindak, ia hanya bisa diam tak melawan.
"Mulai sekarang, kalian harus putus. Jangan pernah mengulangi hubungan lagi, selamanya!" Ucapan Reren mampu membangkitkan semangat Viren untuk berbicara.
"Aku nggak mau putus!" ungkap Viren dengan kondisi terbaring. "Aku masih mencintai dia, aku sayang dia, aku nggak bisa jauh dari dia!"
Tangis Relyn semakin sesenggukan mendengar itu. Ia ingin berbicara, namun tak bisa, karena pikirannya memaksa untuk diam. Seryl masih setia memeluk Relyn sembari mengelus-elus bahunya mencoba menenangkan, meski sulit.
"Kamu pilih Ayah atau dia?" tanya Reren.
"Pokoknya aku nggak mau putus!" jawab Viren dengan suara nyaring.
"Oke, silakan kamu pilih dia! Tapi ada satu syarat! Kamu harus pergi dari rumah dan jangan kembali lagi. Saat kondisi kamu seperti ini, urus dirimu sendiri, Ayah sama Ibu nggak akan membantumu lagi! Ingat itu!" tegas Reren.
Jujur, hati Viren dan Relyn sama-sama hancur berkeping-keping. Mereka tak ingin putus. Namun, Viren harus menuruti apa kata Ayahnya. Viren ingin menangis, namun sadar ia laki-laki dan mencoba kuat menahan air mata.
"Pilih mana kamu?" tanya Reren.
"Aku nurut sama Ayah!" jawab Viren dengan suara rendah.
"Oke mulai sekarang, kalian nggak ada hubungan apapun lagi. Untuk kamu, silakan pergi dari sini!" Reren mengusir Relyn. Seryl pun mengajak Relyn keluar diikuti Kio. Tak lupa Kio berpamitan mewakili kedua perempuan itu. Mereka tak langsung pulang, melainkan duduk di kursi tunggu guna menenangkan Relyn.
"Gimana Lyn? Enak ya rasanya putus?" tanya Kio langsung mendapat pukulan dari kekasihnya.
"Sudah Lyn. Lo harus tenang, diam dulu nangisnya!" tutur Seryl. Relyn tetap setia menangis di pelukan Seryl.
"Gue sedih, gue nyesel... Hiks..hiks..hiks!" jawab Relyn.
"Gue ngerti perasaan lo sekarang kek gimana. Gua tahu. Tapi tolong lo tenang dulu, jangan nangis!" celetuk Seryl mencoba melepas Relyn dari pelukannya. Kedua kantong mata Relyn tampak sembab efek menangis.
"Lo harus sabar Lyn, mungkin ini semua cobaan!"
"Gue bodoh... Gue sangat bodoh! Hihihihi." Relyn mulai menyadari segalanya.
"Sekarang lo tahu kesalahan dan kebodohan lo di mana?" tanya Seryl. Relyn mengangguk sembari mengusap wajahnya yang penuh air mata.
"Ya sudah. Dengan terpaksa lo harus terima nasib dengan ikhlas! Lo harus sabar ngadepin semuanya!"
"Affa iyaa Say?" tanya Kio menggoda Seryl.
"Sstt ... Diam kamu!" jawab Seryl.
"Kalau lo udah bisa tenang, sekarang kita pulang!" ajak Seryl.
Relyn berjalan menuju parkiran. Ia langsung mengenakan helm saat tiba di sana seraya melajukan motor tanpa ucapan apapun. Kini, ia mengendarai motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Orang-orang yang menyaksikan dibuat heran, bisa-bisanya anak perempuan bawa motor ugal-ugalan. Tidak patut dicontoh!!!
Relyn tiba di rumah dengan perasaan emosi. Ia bersumpah serapah akan memarahi Feki saat berjumpa nanti. Kini ia berada di kamar merenungi segala hingga meneteskan air mata. Menyesal, hanya perasaan itu yang terisi di benak Relyn. Ia tak tahu harus melakukan apalagi kecuali menerima kenyataan yang pahit. Jika boleh berteriak, ia akan berteriak sekencang mungkin. Jika boleh mengamuk, ia akan menghabiskan semua barang disekitarnya. Barangkali di rumah tidak ada Pressa, mungkin ia akan melakukannya.Namun itu hanya angan semata, karena Pressa selalu berada di rumah saat siang hari guna membereskan semua pekerjaan rumah Resita. Relyn beranjak dari ranjang seraya ke balkon, tempat yang sangat jarang ia kunjungi. Relyn menyendiri di sana guna menenangkan pikiran sejenak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Relyn
Novela JuvenilAlur hidup seseorang berbeda-beda. Tidak ada yang tahu selain Tuhan. Seperti cerita seorang Relyn. Remaja 15 tahun yang mengalami percintaan. Semula ia dekat dengan seorang cowok bernama Feki, namun berpacaran dengan Viren yang lebih dulu menyatakan...