20. Owh Ternyata

3 2 0
                                        

  Relyn sontak membelalakkan mata kala netranya menangkap Pressa dan Nitolen tengah duduk berdua romantis. "Papa, Tante Pressa," panggil Relyn menghilangkan senyum yang sedari tadi terukir di bibir mereka. Mereka sontak bangkit dari duduk kala mendapati keberadaan Relyn.

  "Papa sama Tante kenapa? Kok duduk berdua, tumben banget, ada apa?" Relyn bertanya-tanya.

  "Eh, Relyn sayang, anak Papa udah pulang sekolah ternyata, gimana sekolah kamu hari ini?" Nitolen menghampiri Relyn dengan senyuman. Dia mencoba mengalihkan topik.

  "Sekolahku hari ini seperti biasanya. Papa nggak usah tanya. Sekarang, Papa harus jawab pertanyaanku!" jawab Relyn dengan suara meninggi.

  "Kamu nggak boleh gitu Nak! Jadi perempuan itu harus lembut, kayak Mama kamu itu!" tutur Nitolen.

  "Aku akan berubah lembut kalau Papa sudah menjawab pertanyaanku!" tegas Relyn.

  "Memangnya kamu tanya apa?" tanya Nitolen telah melupakan pertanyaan Relyn, tadi.

  "Papa kenapa duduk berdua sama Tante Pressa, tadi kata Mama Papa lagi meeting, tapi kenapa Papa malah di sini, berduaan sama Tante Pressa, pula! Mengapa Papa begitu? Papa bohongin Mama? Papa tega! Selama ini Mama udah baik sama Papa, tapi kenapa Papa seperti ini dibelakang Mama!" Emosi Relyn memuncak seketika.

  "Relyn. Tante sama Papa kamu nggak ngapa-ngapain kok! Cuma lagi mengobrol biasa aja!" jawab Pressa dengan lembut, mencoba menurunkan emosi Relyn.

  "Tapi kenapa Papa bohongin Mama?"

  "Papa nggak bohongin Mama kok," elak Nitolen.

  "Tadi Mama bilang Papa lagi meeting, dan Mama  pulang sendiri, tapi ternyata Papa malah sembunyi di bawah ranjang terus berduaan sama Tante Pressa. Apakah itu perilaku Papa yang baik? Papa udah tega bohongin Mama, tega membiarkan Mama pulang sendirian naik motor dan satu lagi, Papa tega khianatin Mama! Aku tau itu! Tadi aku dengar Tante Pressa ngomong sayang ke Papa! Terus beberapa waktu lalu, saat aku telfon Papa, aku dengar suara wanita memanggil 'sayang' pasti itu Tante Pressa bilang ke Papa kan? Dan yang lebih aku benci, saat itu Papa bilang ke aku lagi meeting, tapi ternyata lagi berduaan sama Tante Pressa, karena pada saat itu juga, Tante Pressa tidak ada di rumah! Pasti berduaan sama Papa! Iya kan? Jujur aja Pa! Masih baik, aku tidak bilang ke Mama kalau ada yang suara wanita bilang sayang saat aku telfon Papa waktu itu, karena aku nggak mau Mama curiga dan kepikiran terus!"

  "Kenapa kamu tega menuduh Tante seperti itu, Relyn?" tanya Pressa yang tubuhnya lemah seketika. Ia tak mampu menopang tubuhnya sendiri, hingga terjatuh.

  "Papa sama Tante Pressa tidak ada hubungan apa-apa kok, Sayang!" jelas Nitolen.

  "Terus tadi, Tante Pressa bilang sayang ke siapa lagi kalau bukan ke Papa? Orang yang ada di sini cuma Papa!" tanya Relyn. Emosinya kini sangat tinggi hingga berani bicara tinggi dengan Papa-nya sendiri. Relyn sangat sayang dengan sang Mama lebih dari apapun. Ia tak akan terima jika ada orang yang menyakiti Mama-nya. Karena sedihnya Mama adalah sedihnya Relyn, senangnya Mama adalah senangnya Relyn begitupun sebaliknya.

  "Tadi itu, Tante Pressa lagi telfonan sama pacarnya di handphone!" jawab Nitolen.

  "Kalau benar, lalu mana handphone-nya? Dan kenapa tadi Papa yang nyahut pertanyaan Tante Pressa! Nggak usah bohong deh Pa! Aku udah tau kok!" timpal Relyn. Mulut Pressa bungkam sembari terduduk lemas di lantai.

  "Oke ... Oke. Papa jujur, kalau Papa pacaran sama Tante Pressa, Papa cinta dia, Papa sayang dia! Tapi tolong jangan kamu bilang ke Mama ya!"

  Deg ...

  Semuanya sudah jelas tanpa tertutup lagi, dugaan Relyn selama ini telah terbukti. Ia sama seperti Pressa yang tak mampu menopang tubuhnya hingga terjatuh. Namun bedanya, Relyn meneteskan air mata, sedangkan Pressa hanya diam.

  "Hiks... Hiks ... Hiks ...Tega sekali Papa! Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mama kalau mengetahui ini semua! Pasti akan sakit banget melihat suaminya selingkuh dengan asisten rumah tangganya sendiri! Hiks ... Hiks .. Hiks ..." Relyn terus terisak. Ia bingung harus bagaimana. Rasanya semua itu mimpi, namun kenyataan yang sangat sulit dan pahit untuk diterima.

  "Hiks ... Hiks ... Hiks .Ka... Ka.. Ka.. Kal.. Kal... Kalau Papa udah nggak cinta Mama, ceraikan saja, aku ikhlas! Biar Mama bebas mencari kebahagiaan lain! Daripada hati Mama tersiksa sama Papa!" Rahang Nitolen mengeras seketika, tangannya panas dan mengepal, ingin meninju apapun yang ada dihadapannya, termasuk Relyn. Namun ia tahan, karena sadar Relyn adalah anaknya yang tak pantas ia beri kekerasan.

  "Papa masih cinta sama Mama kamu!" Kini kesabaran Nitolen telah habis, ia pun mengeluarkan suara tinggi sama seperti Relyn.

  "Kalau Papa masih cinta! Ayo buktikan! Jangan sakiti hati Mama!" tantang Relyn.

  "Tapi Papa juga cinta sama Tante Pressa!" jawab Nitolen.

  "Nggak bisa gitu Pa! Papa harus pilih salah satu! Kalau Papa milih Mama, putuskan Tante Pressa, kalau Papa milih Tante Pressa, ceraikan Mama! Mudahkan? Apa yang susah?" gerutu Relyn.

  "Tapi Papa cinta dua-duanya! Kalau bisa dua, kenapa harus satu?" jawab Nitolen menurunkan emosinya kembali dan berusaha sabar menghadapi anaknya itu.

  "Tapi istri sah Papa itu, Mama. Mama Resita. Harusnya Papa milih Mama!"

  "Maaf, Papa, nggak bisa memilih!" ucap Nitolen.

  Pressa masih setia dengan diamnya sembari menyaksikan perdebatan mereka.

  "Aku akan bilang ini semua ke Mama! Biar Mama pulang aja ke rumah Nenek, nggak sama Papa, agar hati Mama aman!" ucap Relyn.

  "Relyn, kamu mau menghancurkan rumah tangga Papa sama Mama?" tanya Nitolen tegas.

  "Enggak. Relyn hanya ingin membahagiakan Mama! Justru Papa yang ingin menghancurkan rumah tangga Papa sendiri sama Mama. Kenapa jadi salahin Relyn? Intropeksilah Papaku!" jawab Relyn. Nitolen mengusap wajahnya gusar. "Aku mau pergi dulu! Papa jangan larang aku untuk pergi!" Tanpa menunggu jawaban dari Nitolen, Relyn langsung meninggalkan rumah.
  Motor matic Relyn tampak melaju santai. Dengan perasaan kecewa, Relyn mengendarai motor ke rumah Celine. Ia ingin bercurah hati pada sang sahabat.

  Thok ...

  Thok ...

  Thok ...

  Relyn mengetuk pintu saat tiba di rumah Celine. "Celine ..."

  Cklek ...

"Kak Relyn, silakan masuk Kak!" sambut Celine. Relyn pun masuk.
"Ada apa Kak, siang-siang bolong Kakak ke sini?" tanya Celine.

  "Mau curhat sesuatu!" jawab Relyn.

  "Silakan Kak!"

  Tanpa lama, Relyn langsung menceritakan kejadian tadi dari awal hingga akhir dengan detail. Selanjutnya, Ia menelpon Resita.

  "Hallo Ma, apa Mama sudah pulang?" tanya Relyn.

  "Sebentar lagi Mama pulang Nak! Ada apa emangnya?"

  "Ya sudah kalau gitu. Nggak ada apa-apa kok Ma, ini Relyn lagi di rumah sahabat Relyn," jawab Relyn.

  "Owh, iya Nak, jangan pulang terlalu sore!" tutur Resita.

  "Oke Ma!" Relyn pun menutup telfonnya.

Diary RelynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang