Siang hari yang begitu panas, membuat Resita berniat makan siang bersama sang suami di cafe. Ia berjalan ke ruangan Nitolen berharap menemuinya. Namun, nihil, ruangan Nitolen sunyi tanpa penghuni. Lagi, Resita dibuat panik oleh Nitolen. Diraihnya handphone dari saku guna menelfon sang suami.
*_____*
Sementara di rumah sakit, handphone Nitolen berbunyi nyaring yang memaksanya untuk merespon. "Hallo sayang. Ada apa?"
"Kamu di mana?"
"Aku lagi keluar buat ngurus berkas meeting. Maaf ya, tadi nggak sempat ngabarin kamu soalnya buru-buru banget, nanti sore harus sudah siap, maaf banget ya sayang!" jawab Nitolen terpaksa berbohong.
"Ah... Padahal aku pengen makan siang sama kamu di cafe, pengen minum es soalnya udaranya panas banget, tapi karena kamu ada urusan ya sudahlah, nggak papa, lain kali saja!"
"Oke, kalau kamu mau minum es, nanti aku belikan ya!"
"Makasih sayang," jawab Resita seraya menutup telfon.
"Hufftt selamat!" Nitolen memasukkan handphone-nya di saku.
Tak lama kemudian, seorang wanita berpakaian putih keluar dari ruang pemeriksaan. "Apakah anda keluarga dari saudari Pressa?"
"Bagaimana keadaan dia sekarang, dok?" tanya Nitolen tanpa menjawab pertanyaan dokter.
"Kondisinya kurang baik karena hemoglobinnya sangat rendah sehingga membuat pasien lemah dan dia harus dirawat intensif selama beberapa hari ke depan untuk menormalkan hemoglobinnya. Tapi itu tidak mengapa, Bapak jangan khawatir karena itu hal biasa yang terjadi pada Ibu hamil."
Bak tersambar petir di
siang bolong. Nitolen sangat tarkejut dan tak menyangka akan hal yang terjadi sekaligus berat menerima kenyataan. "Apa Pressa beneran hamil dok?" tanya Nitolen memastikan."Benar Pak, ini buktinya." jawab dokter menyodorkan sebuah kertas yang kemudian dilihat Nitolen.
"Tidak salah dok? Coba lakukan tes sekali lagi!"
"Tidak bisa pak, hasilnya sudah akurat," jawab dokter.
"Owh ya sudah dok! Terima kasih."
"Sama-sama Pak, saya permisi untuk segera memindahkan pasien ke ruang rawat!" Nitolen menatap dokter yang semakin menjauh lalu mengacak rambutnya frustasi.
Tak lama kemudian, Pressa dipindahkan ke ruang rawat dengan kondisi yang masih lemas. Nitolen mengikuti brankar Pressa yang dibawa oleh beberapa suster ke ruang melati 05.
"Pressa, kamu beneran hamil?" tanya Nitolen.
"Bener Mas. Aku hamil anak kamu, anak kita!" jawab Pressa dengan lemah.
"Berarti, itu anak kandungku?" Pressa mengangguk. Sungguh, Nitolen tak menyangka bahwa sesuatu yang ia khawatirkan kini terjadi nyata.
"Lalu, kapan kamu mau nikahin aku?" tanya Pressa membuat Nitolen mematung. Ia bingung jika harus bertanggung jawab. Karena itu akan menghancurkan bahtera rumah tangganya dengan Resita. Disisi lain, ia sadar bahwa keadaan menuntutnya untuk bertanggung jawab. "Mas, kenapa diam? Ayo jawab! Aku butuh kamu di sampingku selamanya Mas, demi anak kita ini!" Pressa mengelus perutnya yang masih terlihat datar.
"Kamu harus aborsi sebelum perutmu kelihatan membuncit!" saran Nitolen mengejutkan Pressa.
"Apa mas? Kamu nyuruh aku aborsi? Tega kamu sama aku dan anak kita! Ini anak kamu Mas, anak kandungmu, masa kamu tega mau membunuh dia yang tidak bersalah! yang salah itu kita, bukan dia! Dia tidak salah, jadi aku tidak mau menggugurkan dia dari kandungan! Lagipula, kalau anak ini lahir, dia akan menjadi pengurusku kelak. Dia yang akan merawatku dimasa tua nanti. Tanpa dia, aku tidak tau siapa yang mau mengurusku!" tegas Pressa.
"Ya. Ucapanmu benar, Pressa." Nitolen mengangguk-angguk.
"Kamu tau kan? Kamu harus tanggung jawab atas semua ini Mas. Aku bisa tuntut kamu kalau kamu tidak mau bertanggung jawab!" tegas Pressa.
"Oke, aku akan bertanggung jawab, secepatnya kita akan menikah, setelah kamu sembuh nanti. Tapi secara diam-diam, jangan ada orang terdekat yang tau! Aku akan membawamu ke luar kota untuk melaksanakan akad nikah di sana nanti!" Pressa mengangguk. "Sekarang, aku pamit kembali kerja, ya, kamu bisa jaga diri kan?"
"Aku bisa jaga diri kok, mas, hati-hati ya!" jawab Pressa.
Nitolen keluar ruangan dengan pikiran berkecamuk. Harus beralasan apa dia nanti? Agar Resita mengizinkannya pergi. Ah ... Biarlah waktu yang menjawab semua.
Sebelum ke kantor, ia menepati janjinya pada Resita.
*_______*
Di taman rumah, Relyn tengah berkumpul dengan teman-teman cewek sekelasnya. Mereka mengerjakan PR Matematika bersama. Relyn mencermati deretan angka yang tertera di buku lalu menjawab semua soal dengan sesuai rumus. Ia tak sendiri, melainkan dibantu oleh beberapa temannya hingga akhirnya selesai.
"Ah ... Akhirnya selesai!" ucap Tia sembari meluruskan otot-ototnya.
"Seru juga ya, di sini! Udaranya sejuk!" ucap Liyli.
"Kalian senang di sini?" tanya Relyn.
"Iya!" jawab Tia, Liyli, Mika dan Seryl.
"Tapi, sebentar lagi aku pulang!" ucap Mika.
"Cepet banget, mau ngapain?" tanya Seryl.
"Mau ketemu ayank .... Hihihihihi," jawab Mika bergurau. Mereka sontak melongo mendengar itu.
"Apa? Benarkah kamu punya ayank?" tanya Tia.
"Hihihihi ... Enggak, aku bercanda kok!" jawab Mika tertawa kecil.
"Kan nggak boleh pacaran sama Bu Guru!"
"Iya ya!"
"Sekarang jam berapa ya?" tanya Liyli. Tya menengok jam tangannya.
"14.56."
"Relyn," panggil seseorang di rumah.
"Aku di sini," jawab Relyn meski belum tau orang yang memanggilnya.
"Owh ternyata ada teman-teman kamu," ucap Resita sembari berjalan."Iya Ma. Mama tumben udah pulang?"
"Soalnya hari ini nggak lembur jadi pulang lebih awal," jawab Resita diangguki Relyn. "Itu teman-teman kamu kok kamu anggurin sih? Nggak kamu kasih apa-apa? Kan di kulkas ada banyak makanan kamu kasih ke mereka!"
"Owh iya, aku lupa. Maaf ya teman-teman, sekarang aku ambil dulu makanan untuk kalian." Tak lama kemudian Relyn datang dengan membawa banyak snack untuknya dan teman-temannya. Resita kembali masuk rumah. Ia mendengar suara Nitolen tengah menelfon seseorang di ruang keluarga. Hal itu sontak menghentikan langkahnya.
"Iya..iya, aku akan segera menyusul kamu kok! Makan yang banyak ya, biar tidak lemas badan kamu!"
"........."
"Oke... Tunggu ya!"
Thut ...
"Lagi telfonan sama siapa Mas?" tanya Resita mengejutkan Nitolen.
"Eh, Sayang. Aku habis telfonan sama sahabatku, dia lagi sakit soalnya, nanti aku izin menjenguk ya!"
"Sahabat? Perasaan kamu nggak pernah ngenalin sahabat kamu ke aku? Lalu sekarang, kenapa tiba-tiba kamu bilang punya sahabat?" tanya Resita disertai rasa aneh.
"Soalnya aku baru sahabatan sama dia, jadi belum sempat ngenalin ke kamu," jawab Nitolen.
"Laki-laki atau perempuan?" tanya Resita diseryai kecurigaan.
"Laki-laki." jawab Nitolen.
"Owh gitu! Ya udah!" Resita mempercayainya.
Tanpa mereka sadari, sedari tadi ada seseorang yang memerhatikan obrolan mereka. Siapa lagi jika bukan Relyn yang usai berkumpul dengan teman-temannya. Sontak perasaan curiga menyelimuti dirinya. Ia berdo'a dalam batin agar semuanya baik-baik saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Relyn
Teen FictionAlur hidup seseorang berbeda-beda. Tidak ada yang tahu selain Tuhan. Seperti cerita seorang Relyn. Remaja 15 tahun yang mengalami percintaan. Semula ia dekat dengan seorang cowok bernama Feki, namun berpacaran dengan Viren yang lebih dulu menyatakan...