43 - GENGSI

71 3 0
                                    

HAPPY NEW YEAR!

VOTE YU BISA YU

HAPPY READING!

🌜🌜🌜

Brakk

Rora terperanjat kaget kala melihat Arman tidak sengaja menjatuhkan pigura yang ada di atas meja di samping tempat tidurnya. Sudah dua hari Arman pulang dari rumah sakit. Keadaannya semakin membaik. Hanya saja Arman mengabaikan semua anaknya.

"Pa." Panggil Rora, lalu memungut pigura yang telah tergeletak di atas lantai keramik putih. Beruntung belum pecah. Rora kembali menaruh ke tempatnya.

"Papa makan dulu ya?"

Rora mengaduk bubur yang tadi dimasak Lukas khusus untuk Arman sebelum pergi ke pondok bakso. Rora menyodorkan bubur hangat tersebut pada Arman, tapi Arman langsung buang muka.

"Pa." Tegur Rora.

"Papa gak lapar." Tukas Arman dengan nada ketus.

Rora menghela napas gusar. "Papa belum makan pagi. Udah jam dua belas juga. Masa iya hari ini papa makan sekali?" Cerewet Rora.

Sama sekali tidak ada tanggapan dari Arman. Rora yang kecewapun langsung menaruh bubur tersebut di atas meja Arman.

"Pa... Kalau anak papa ada salah, bilang. Jangan diem gini. Kasih tahu Rora, kami salah apa?" Bujuk Rora dengan mata berkaca-kaca. "Padahal Rora sebentar lagi mau sidang." Cicitnya sambil memilin bawah baju yang ia kenakan.

"Apa hubungan kamu dengan Arga?"

Rora terdiam sebentar, gadis itu tersadar dan langsung menarik napas panjang. "Cuma temen pa."

Arman menarik selimut miliknya hingga dada. "Papa bisa makan sendiri, kamu keluar aja." Usir Arman tetap mempertahankan nada bicara ketus pada Rora.

"Tapi pa--"

"Tinggalin papa sendiri." Sela Arman dengan cepat, tidak membiarkan anak gadisnya menyelesaikan kalimat untuk membujuknya lagi. "Jangan lupa tutup pintu." Perintah Arman, setelah itu Arman menutup mata.

Rora terpaksa berdiri. Sebelum pergi ia menutup bubur yang masih hangat  dengan piring yang tadinya menjadi alas mangkok bubur. Rora melirik Arman yang sudah menutup matanya, lalu menghela napas gusar. Arman yang bersikap seperti ini membuat Rora sedih.

"Kalau butuh apa-apa. Papa panggil Rora aja ya. Rora ada di depan kamar papa."

 ̄へ ̄

Arga memainkan pulpen mekanik berulang kali. Sedari tadi ia mencoba memaksa diri untuk fokus pada rekan yang menjalin kerja sama dengannya. Pria kisaran umur empat puluh tahun itu tengah menjelaskan opininya tentang bagian hotel yang akan dibangun di tepi laut.

"... Disini saya juga mengajukan di samping hotel akan dibuat jalan yang menjadi penghubung vila-vila di samping hotel. Jadi menurut saya, kita tidak akan mendirikan hotel saja. Melainkan vila juga, karena masih banyak tanah yang tersisa. Sayang jika hanya dijadikan tempat parkir bebas. Itu saja yang bisa saya jelaskan untuk mendukung pembangunan hotel ini. Terimakasih."

"Bagaimana Arga? Kamu setuju jika ada vila di samping hotel?" Tanya Ekio yang sedari tadi memperhatikan Arga yang terus melamun. Tubuh anaknya ada di ruang meeting, tapi tidak dengan pikirannya. Tampak dari dua tatapan Arga kosong.

AROGA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang