Karenina menatap api yang menari-nari di depannya. Wangi kayu kering dan jagung yang terbakar membuatnya teringat masa-masa indah yang pernah dirasakannya dulu.
"Kamu teringat sesuatu?" Bintang memandanginya sambil membolak balik jagung yang dibakarnya dalam tungku perapian.
"Ingat masa-masa kuliah dulu. Waktu kita sering camping."
Bintang tersenyum. "Saat camping aku sering memperhatikanmu dari jauh. Aku senang saat kamu memakan jagung bakar yang aku buat."
Karenina tersenyum. "Kamu selalu menjauh dariku. Dari dulu kamu lebih senang dekat perapian. Membakar sesuatu."
"Karena kamu selalu saja di kelilingi teman-temanku. Mereka selalu berebut tempat dekat kamu. Aku malu." Bintang tersipu mengingatnya.
"Lalu setelah kita lulus, kamu semakin menjauh. Kamu pergi begitu saja..."
"Aku ingin mewujudkan mimpiku. Melihat dunia. Kamu tahu dari dulu aku sering berpetualang. Traveling, naik gunung, menyelam di laut..."
"Aku tahu. Kamu selalu pergi dengan Tama, sahabatmu. Aku selalu mengikuti vlog kalian. Aku sering menyapamu, mengirim pesan. Tapi kamu hanya membalasnya sesekali."
Bintang tersenyum. "Aku kira kamu seperti yang lainnya. Hanya ingin berbasa basi saja. Aku sering melihat sosial media kamu. Kamu selalu terlihat mesra bersama laki-laki yang selalu berganti-ganti. Aku merasa hidupku berbeda denganmu."
"Sebelum bersama Aidan hidupku memang lebih bebas. Aku bisa bergaul dengan siapa saja. Bepergian bersama teman-temanku. Berfoto dengan siapa saja tanpa harus takut ada yang marah. Dan setelah lulus kuliah aku juga sempat berhubungan serius dengan satu laki-laki, sebelum kemudian Aidan datang." Karenina merapatkan kedua kakinya yang terasa dingin, dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.
"Bagaimana kamu bisa bertemu Aidan?" Bintang memberikan jagung yang sudah selesai dibakarnya pada Karenina.
"Dulu perusahaan tempat aku bekerja berada satu lantai dengan perusahaannya Aidan. Kantor kami berdekatan. Dia idola teman-teman wanitaku. Dia selalu tampak menonjol di mana saja. Laki-laki muda yang sukses, tampan, ramah dan selalu terlihat memesona. Dia sangat simpatik. Siapa pun yang belum mengenalnya pasti menganggapnya dia pria sempurna. Semua teman wanitaku ingin menikah dengannya." Karenina meniup-niup jagungnya yang panas.
"Tapi dia hanya tertarik padamu?"
Karenina tersenyum. "Waktu pertama melihatnya aku masih punya kekasih. Kami satu kantor. Aku tidak begitu perduli pada Aidan. Aku mencintai Dimas. Dia mirip kamu. Dia selalu tersenyum. Dia juga senang jalan-jalan. Tapi, tiba-tiba Dimas menerima tawaran untuk bekerja di Sumatera. Dia ditawari gaji lebih besar. Lalu jarak membuat kami menjauh. Kami saling cemburu dan curiga. Dan Dia juga selalu sibuk dengan pekerjaan barunya. Dan... akhirnya kami putus begitu saja. Saat itulah aku menerima Aidan masuk dalam hidupku. Dan sejak saat itu juga hidupku berubah drastis." Karenina menghela nafasnya. Ia terdiam sesaat.
Kini Bintang menatapnya. "Kamu enggak perlu menceritakannya kalau itu membuatmu mengingatnya lagi."
"Aku memang salah sejak awal. Aku begitu naif. Aku mengira Aidan begitu baik mau mewujudkan semua mimpi-mimpiku. Dia mewujudkan semuanya dalam sekejap. Saat baru tiga hari kami jadian, dia sudah memintaku untuk pindah dari kostku yang kecil ke salah satu apartemen mewahnya. Dia juga menukar motorku dengan salah satu mobilnya. Dan... dia juga membantu bisnis skin care-ku yang waktu itu masih kurintis kecil-kecilan bersama Danisa.
Dia meminjamiku modal dan membantuku membuat perusahaan yang saat ini kupimpin."Karenina memandang Bintang yang masih menatapnya dengan matanya yang berbinar oleh pantulan cahaya perapian.
"Aku baru menyadarinya semua itu tidaklah gratis saat dia akhirnya sering datang menginap di apartemenku. Dia datang dan pergi sesuka hatinya. Dan setiap datang dia selalu minta dilayani..."
Karenina menghela nafasnya. Matanya mulai berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
90 Hari
RomanceKetika Cinta Lama Bersemi Kembali tepat 90 hari sebelum hari pernikahannya tiba, Karenina mencoba permainan konyolnya hanya untuk membuktikan, bahwa cinta masa lalunya pada Bintang, tak bertepuk sebelah tangan. Namun, ada banyak yang harus dikorbank...