Senyum Karenina tak berhenti tersungging, menyaksikan vlog traveling Bintang dari ponselnya. Bintang tengah berada di Marrakesh bersama seorang teman prianya. Ia terlihat sangat gembira. Berbicara dengan penuh semangat dan suka cita. Tak ada lagi raut kesedihan di wajahnya seperti saat terakhir kali mereka bertemu. Disentuhnya wajah Bintang di layar ponsel. Dimana pun senyumnya tetap sama. Dan matanya tetap bercahaya. Ia selalu bahagia dalam perjalanannya.
Sedangkan ia di sini. Di ruangan kecilnya. Dalam dunianya yang sempit. Ia tidak akan pernah kemana-mana selamanya. Karena sebentar lagi ia pun akan menandatangani kontrak hidup dalam sangkar emasnya Aidan yang bernama pernikahan.
Karenina menghembuskan nafas beratnya. Hatinya mendadak pilu. Harusnya ia berada di sana bersama Bintang. Menikmati keindahan dunia dan kebebasan bersamanya. Seperti rencana mereka. Dan seperti impiannya selama ini.
Dihapusnya air mata yang tiba-tiba saja jatuh ke layar ponsel. Apakah kamu sudah melupakanku, Bin? Melupakan rencana kita? Mengapa kamu begitu bahagia di sana? Tidak kah kamu merasakan pedihnya hatiku saat ini? Kini batinnya merintih.
Atau haruskah ia pergi menyusulnya? Meninggalkan pernikahannya? Meninggalkan Aidan dan Mamanya? Andaikan ia punya keberanian itu? Melepaskan segalanya demi cinta? Seperti yang dilakukan Bintang. Hatinya kembali teriris. Ia sudah menghancurkan pernikahan Bintang. Ia sudah membuat Bintang memilih dirinya. Tapi ia malah tak berani meninggalkan Aidan.
Mamanya benar, ia memang bukan wanita terhormat. Bodoh sekali. Andaikan saja ia tidak memulainya. Andaikan saja ia tidak bertemu Bintang kembali. Mengapa kita harus bertemu lagi kalau hati kita malah terluka? Harusnya kita tetap menyimpan saja cinta itu dalam hati agar tetap menjadi kenangan indah. Maafkan aku, Bin... Tak terasa air mata Karenina kembali berlinang.
Sebuah ketukan di pintu terdengar pelan, tapi cukup menyadarkan Karenina dari lamunannya. Buru-buru diusapnya air matanya. Sejenak ia menoleh sambil berpikir. Menebak-nebak orang yang datang mengunjunginya malam-malam. Apakah Danisa?
Dengan malas dibukanya pintu kamar. Dan Aidan berdiri di sana. Dengan wajah kusut dan sorot mata putus asa.
Karenina mundur selangkah dengan takut. Ia takut Aidan akan menjemputnya dengan paksa.
"Aku hanya ingin bicara, Nin. Ijinkan aku masuk," ucap Aidan melihat Karenina yang ketakutan.
Karenina memandangnya dengan ragu. Dilihatnya mata yang biasanya kejam itu tampak begitu sayu. Begitu putus asa.
"Kalau kamu takut, kita bisa bicara di teras?" Suara Aidan pelan dan mengiba.
Perlahan Karenina melebarkan pintu. Membiarkan Aidan masuk ke dalam kamarnya lalu menutupnya kembali.
Ditariknya kursi menjauh dari Aidan yang terduduk di pinggir tempat tidur. Ditungggunya ia berbicara. Hatinya berdebar. Jantungnya berdegup kencang."Bagaimana kabarmu, Nin?" Tanya Aidan. Suaranya nyaris tak terdengar.
"Baik," sahut Karenina masih dengan takut. Keberaniannya yang pernah muncul saat itu kini sudah menghilang. Ia kembali menjadi Karenina yang lemah dan tak berdaya di hadapannya.
"Tiga hari lagi hari pernikahan kita, Nin. Mama mu menanyakanmu." Aidan mencoba tersenyum.
Karenina tak menjawab. Ia memalingkan wajahnya. Saat ini ia tak ingin membicarakannya. Ia bahkan ingin sekali melupakan pernikahannya itu.
"Apa kamu ingin membatalkannya?" Tanya Aidan tiba-tiba, seolah tahu apa yang dipikirkan Karenina.
Dan Karenina pun kembali menatapnya dengan takut. "Aku tak tahu," sahutnya.
Ia memang tidak tahu maksud Aidan. Apakah ia ingin menjebaknya dengan pertanyaannya itu? Agar ia bisa kembali menyakitinya?
Dipandangnya Aidan yang masih menatapnya dengan putus asa. Tak ada amarah atau paksaan dalam nada suaranya. Wajahnya pun tampak pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
90 Hari
RomanceKetika Cinta Lama Bersemi Kembali tepat 90 hari sebelum hari pernikahannya tiba, Karenina mencoba permainan konyolnya hanya untuk membuktikan, bahwa cinta masa lalunya pada Bintang, tak bertepuk sebelah tangan. Namun, ada banyak yang harus dikorbank...