Bab 12 : Pasrah

41 5 0
                                    

"Kamu yang meminta Mama datang, kan?" Karenina mengusap air matanya.

Aidan mengangguk.

"Mama sudah tahu semua?"

"Mama harus tahu."

"Kamu jahat Aidan!"

"Kamu mengkhianatiku." Aidan menatapnya dengan dingin.

"Aku tidak mencintaimu!"

"Aku tidak perduli lagi."

"Kamu tidak mencintaiku, Aidan... kamu hanya terobesesi padaku."

Aidan menghela nafasnya. "Sebanyak apa pun aku mencintaimu, kamu tidak pernah perduli."

"Tinggalkan aku... Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dariku."

"Aku hanya menginginkanmu..."

Karenina kembali terisak.

"Jangan menangis lagi. Sebentar lagi Mamamu datang." Aidan mengusap air mata Karenina dengan jemarinya.

Karenina menghapus sisa air matanya. Dipandanginya Aidan penuh kebencian. Ia benci Aidan menggunakan Ibunya untuk membalaskan sakit hatinya. Ia tahu, Mamanya adalah kelemahannya.

Suara bel apartemen terdengar berbunyi. Hati Karenina berdegup semakin kencang. Inilah saat penghakimannya. Dilihatnya Aidan membuka pintu. Dan suara itu semakin dekat. Mendekatinya. Dan belum sempat Karenina menyadarinya, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

"Maaah!"

Tamparan keras wanita tua itu membuat Karenina menjerit. Diusapnya pipinya yang terasa panas.

Wanita itu berdiri di hadapan Karenina. Menatapnya dengan mulut bergetar. Matanya berkaca-kaca.
"Mama dan Papa menyekolahkanmu bukan untuk menjadikanmu wanita penggoda suami orang. Kami bersusah payah membesarkanmu untuk menjadi wanita terhormat!"

Karenina tak pernah melihat Mamanya semarah itu dalam hidupnya. Tak pernah sekali pun ia menamparnya. Air matanya kini berderai.

"Kamu pakai rumah Mama untuk berselingkuh! Mama tak akan percaya kalau Aidan tak pasang kamera di sana. Kamu sangat keterlaluan Nina! Kamu perempuan. Kamu semestinya mengerti rasanya suamimu direbut perempuan lain. Apa kamu mau itu terjadi padamu?"

"Mah..." Aidan memberikan minuman pada wanita itu. Mencoba menenangkannya.

Karenina kembali memandang Aidan penuh kebencian.

Dilihatnya Mamanya kini terisak. "Kakak mu akan menamparmu lebih keras kalau dia sampai tahu."

Karenina tertunduk. Ia tak berani menatapnya.

"Kenapa, Nina? Kamu sendiri yang memilih Aidan. Kamu juga yang meminta Mama menerima lamarannya. Dan Aidan sudah memberikan segalanya padamu. Apa lagi yang kurang darinya? Kamu tahu, apa yang akan terjadi seandainya orang tua Aidan mengetahui hal ini? Mau ditaruh di mana muka Mama, Nina?" Wanita itu kini terduduk lemas di hadapan Karenina. Wajahnya memerah. Kedua bahunya turun naik menahan amarah.

"Maafkan Nina, Ma..." Ucap Karenina terbata. Diberanikannya memandang wajah Sang Mama.

"Pernikahanmu tinggal beberapa hari lagi ... kamu malah bikin ulah..." Wanita itu kembali menangis. "Mama malu pada Aidan." Wanita itu menatap anaknya dengan tatapan penuh kekecewaan.

"Enggak apa-apa, Ma..." Aidan mengusap-usap punggung wanita itu.

Karenina kembali menatap Aidan dengan sorot mata penuh amarah.

Setelah sekian lama terdiam dalam isaknya. Sang Mama akhirnya menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan. Kini ia terlihat lebih tenang.

"Mama akan beristirahat di hotel saja, Aidan," ucapnya tiba-tiba seraya beranjak dari duduknya. Tak diperdulikannya Karenina yang memandangnya penuh rasa bersalah.

90 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang