Bab 2 : Harusnya Dulu Kita Saling Bicara

54 5 0
                                    

Karenina masih membolak-balikan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya tak mau terpejam. Bayangan wajah Bintang tak berhenti menganggunya. Dia ada di mana-mana. Dalam kegelapan saat matanya terpejam. Tersenyum memandanginya dari langit-langit kamarnya. Dan menatapnya di atas bantalnya.

Sialan kamu, Bintang! Dilemparkannya bantal ke sudut kamarnya. Kenapa kamu harus datang di saat yang tak tepat. Kenapa kamu tak datang setahun yang lalu? Kenapa tak datang di saat aku sangat mengharapkanmu? Gusarnya.

Kini ia pun beranjak duduk. Diusapnya wajah dengan kedua tangannya. Mengapa kamu baru datang setelah menjadi milik orang lain?

Naira? Dicobanya mengingat nama itu.
Sejenak ia pun teringat. Ya, Tuhan! Apakah dia perempuan yang selalu duduk paling belakang di lapangan basket itu? Yang diam-diam selalu mengamati Bintang dari jauh? Yang selalu ada dua kursi di samping Bintang saat ia di kantin? Perempuan yang selalu duduk di bawah pohon besar di depan kampus hanya untuk menunggu Bintang lewat di sana? Perempuan aneh itu? Yang bahkan tak masuk hitungan untuk menjadi pesaingnya merebut perhatian Bintang. Tapi Bintang menikahinya?

Tidak mungkin! Karenina menggeleng-gelengkan kepalanya. Kenapa? Kenapa harus dia? Bahkan Bintang pun tak pernah menoleh padanya. Tidak! Bintang tak mungkin mencintainya. Dari sekian banyak wanita yang mengejarnya, mengapa Bintang memilihnya?

Akhirnya Karenina bangun dari tempat tidurnya. Dibukanya ipad dan diceknya email yang dikirimkan Bintang. Ia akan meminta Bintang untuk menemuinya lagi. Di mana? Ia tidak ingin bertemu di kantor, ada banyak hal yang ingin ditanyakannya.

...

"Kamu enggak tidur semalam?" Aidan menatap khawatir wajah Karenina yang tampak mengantuk.

"Oh. Aku tidur larut. Ada yang harus aku kerjakan semalam."

Aidan mengelus wajahnya. "Jangan berlebihan. Kamu sendiri yang bilang, kerjaan enggak boleh di bawa ke rumah?"

Karenina tersenyum. Mencoba menghilangkan kekhawatiran di wajah laki-laki yang sangat mencintainya itu. Ia tidak boleh membuatnya curiga. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya jika ia tahu tentang Bintang.

Aidan memasukan potongan roti terakhir ke dalam mulutnya, lalu di minumnya sisa kopinya dengan sekali tegukan. "Kamu enggak sarapan?" Tanyanya lagi ketika melirik roti di atas piring Karenina yang masih utuh.

"Aku sarapan di kantor saja," sahut Karenina seraya melambaikan tangan kepada pelayan untuk meminta rotinya dibungkus.

"Kita mau makan siang di mana nanti?" Aidan menggandeng tangan Karenina keluar dari cafe.

"Kita enggak makan siang bareng dulu ya, hari ini?"

"Kenapa?" Aidan mengerutkan keningnya.

"Aku ngantuk. Mungkin nanti aku mau tidur sebentar di kantor."

Sejenak Aidan menatap mata Karenina sebelum akhirnya mengangguk. "Ok! Nanti sore aku jemput, ya?"

"Hmm, enggak usah. Kita makan malam di apartemenku aja, ya?"

"Kenapa enggak boleh jemput?" Kini wajahnya mendadak curiga.

"Bukan enggak boleh. Enggak perlu. Aku mau belanja dulu ke supermarket dekat sini, buat masak makan malam."

Aidan kembali menatap mata Karenina, seolah ingin memastikan ia tidak sedang berbohong.

90 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang