Bab 23 : Hidup Yang Tak Kupilih

25 3 0
                                    

"Maafkan, aku..." Aidan memandang Karenina dari samping dengan wajah menyesal.

Karenina mengangguk. "Kamu sudah empat kali meminta maaf," sahutnya tanpa menoleh. Kedua matanya lurus menatap jalanan di depannya.

"Aku berjanji tidak akan memaksamu lagi." Kini Aidan kembali mengalihkan pandangannya ke depan dan mengurangi laju mobilnya.

"Kali ini kamu tidak menggigitku. Itu sebuah kemajuan."

Aidan tersenyum getir. "Tapi kamu tetap menangis."

"Aku hanya kelelahan. Dan kamu memaksaku."

Aidan menarik nafasnya. "Aku bingung sekarang kamu sering berubah. Aku tidak terbiasa."

"Maafkan aku."

"Aku mengira sikap kamu sudah kembali lagi seperti dulu. Kamu tidak pernah menolakku. Kita selalu melakukannya. Kita sama-sama menikmatinya. Tapi tadi tiba-tiba... kamu menolak saat aku sudah... tidak bisa menahan diri lagi. Lalu kamu menangis. Padahal aku tidak menyakitimu."

Karenina menghela nafasnya. Dipalingkan wajahnya ke jendela di sampingnya. Aidan masih saja berpikir menyakiti itu artinya meninggalkan bekas memar di tubuhnya. Padahal ia sering sekali menyakiti hatinya. Andai saja ia bisa melihatnya.

"Apa saat itu kamu sedang mengingatnya?"

Karenina menggeleng. "Jangan sebut lagi namanya. Aku sedang berusaha melupakannya."

Aidan tersenyum. Ia sangat senang mendengarnya. Diraihnya tangan Karenina dan diciumnya. "Aku berjanji tidak akan memaksamu lagi. Aku akan merayumu sampai kamu mau."

Karenina memandang Aidan kembali. Hatinya selalu saja luluh saat Aidan bersikap manis.

"Aku bahagia akhirnya kamu mau melupakannya. Semuanya sudah berlalu. Kita kembali lagi seperti dulu. Jangan berubah lagi, Nin. Tetaplah seperti ini. Aku akan berusaha memperbaiki diriku."

Hati Karenina kini semakin luluh. Kenapa ia selalu saja berubah manis setelah membuatnya menangis? Apakah kali ini ia bersungguh-sungguh? Atau hanya kembali berpura-pura? Tapi lalu ia tersenyum dan menganggukan kepalanya.

Kini mereka sudah sampai di bandara. Dilihatnya Mama dan Kak Martin sudah menunggu mereka. Mereka memang hanya berdua saja. Soraya, istri Kak Martin dan Thalia anaknya baru akan menyusul minggu depan.

"Bagaimana persiapannya, Nin?" Mama memandang Karenina dengan senyum lebar. Tak ada lagi kemarahan seperti saat kedatangannya dulu.

"Sudah hampir beres semua, Mah," sahut Karenina.

"Kamu gimana, Aidan. Sudah siap mental menikahi adikku?" Tanya Martin pada Aidan yang dijawab Aidan dengan tawa.

Karenina memandang Kakaknya dengan kesal. Kak Martin selalu saja menyindir dirinya jika bertemu dengan Aidan. Dia pintar sekali mengambil hatinya. Dia lebih menyukai Aidan daripada adiknya sendiri.

Karenina menghela nafasnya. Membosankan sekali berada diantara Mama dan Kak Martin. Mereka lebih akrab dengan Aidan daripada berbicara dengannya. Mereka masih saja memandangnya sebagai gadis kecil pembuat onar, yang sudah membuat mereka kecewa dan mencoreng nama baik keluarga. Ia telah dianggap mempermalukan mereka di depan keluarga Aidan.

Dari cermin di atas kemudi, Aidan terus memandangi Karenina yang duduk di belakangnya dengan wajah kesal. Dicobanya melempar senyum padanya. Ia tahu, Karenina merasa terasing di tengah keluarganya sendiri.

...

Aidan tak bisa menahan senyumnya melihat Karenina yang duduk cemberut sejak tadi. Kopinya bahkan belum disentuhnya sama sekali.
"Aku tinggal di apartemenmu saja, Aidan," ucapnya tiba-tiba. Membuat Aidan hampir saja tersedak kopi yang tengah di minumnya.

90 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang