Last Part : Sukhoon. Kelima.

453 68 17
                                    

"Jihoon? Ini sudah jam dua! Kenapa kau disini? Kenapa tidak pake jaket hey!"

Jihoon menatap Hyunsuk yang turun dari kereta dengan senyum sebisanya. Angin malam ini terlalu dingin untuk tubuhnya bergerak banyak.

Hyunsuk berlari mendekat. Meletakkan tas di dekat Jihoon. Duduk menghadap si manis yang hanya diam menatapnya. Kilat mata itu terlihat jelas. Kedua tangan Hyunsuk menempel pada pipi Jihoon yang agak lebih pucat.

"Ya Tuhan pipimu dingin sekali. Sini mendekat! Aku akan menghangatkannya."

Kedua mata Jihoon semakin berkaca ketika Hyunsuk dengan gerakan gelisah mengeluarkan patch penghangat. Duduknya semakin mendekat.

Hyunsuk meletakkan patch itu pada sela kedua tangan Jihoon. Lalu meniupkan kedua tangan miliknya dan langsung menempelkan pada kedua pipi Jihoon yang memang sangat dingin.

"Bodoh! Bodoh, Jihoon!"

Pandangan Jihoon mengabur. Kali ini Jihoon membiarkan air mata itu mengalir dihadapan pemilik hatinya langsung.

"Tidak apa-apa. Jangan malu. Ayo keluarkan semuanya. Ayo."

Jihoon semakin terisak ketika satu tangan Hyunsuk meraih belakang kepala dan membawanya pada dada bidang Hyunsuk. Mengusapnya lembut. Satu tangan lain mengerat di punggungnya.

Terdengar isakan kecil Hyunsuk menyapa telinganya sebelum sebuah kecupan mendarat di pucuk kepala Jihoon lama.

"Tidak apa-apa." Ucap Hyunsuk dengan suara seraknya. Disusul nafasnya yang berat. Jihoon merasakannya. Semakin menenggelamkan wajah.

Stasiun yang sepi. Beberapa penerangan dimatikan. Dinginnya angin malam yang melingkup dua tubuh yang kini mulai mereda isakkannya setelah sekian waktu berlalu.

Hyunsuk menempelkan pipinya pada pucuk kepala Jihoon. Mengusaknya sebentar sebelum Jihoon menggerakkan tangannya. Ingin melepas pelukan.

Keduanya kini terdiam. Dengan Jihoon yang menutup wajahnya tak rapat. Sedangkan Hyunsuk masih lamat memandangi Jihoon.

Ia rindu pada Jihoon yang sudah genap menghilangkan diri selama sebulan setelah terakhir kali mereka bertemu di cafe kala Hyunsuk menitip pesan pada rekan Jihoon. Sepertinya, Jihoon perlu waktu cukup banyak untuk berbicara padanya.

Sejak itu juga, ia memutuskan untuk tidak datang lagi ke cafe. Juga ia tidak melewati jalan yang biasa dilewati Jihoon. Supaya Jihoon punya waktu lebih banyak untuk menenangkan diri. Ia gelisah? Jelas.

Tiba-tiba nomor diblokir. Sosial media hilang ditelan bumi. Ketika ia menelfon lewat Ibu Jihoon sekaligus, tidak terlalu banyak membantu karena Jihoon yang juga keras kepala.

Saat itu ia bertanya-tanya. Ada apa dengan Jihoon? Malam waktu Jihoon melarikan diri darinya itu, apa alasannya? Kenapa ia tidak bisa menebaknya?

Apa Jihoon punya masalah banyak di kerjaan dan kuliah? Apa Jihoon sedang tidak mood karena dirinya? Padahal dirinya tidak tahu menahu.

Tapi pertanyaan itu mengerucut pada satu kemungkinan.

"Persahabatan yang sudah dibangun sejak lama, apalagi masa kecil membuat akarnya kokoh dalam hati. Makanya aku tidak percaya ketika kau mengatakan kalau kalian berdua hanya bersahabat, Hyunsuk. Hampir sembilan puluh lima persen dari kasus yang ada dalam persahabatan adalah cinta. Entah keduanya atau hanya salah satu."

Haerin tersenyum sembari menikmati cappucinonya yang sudah dingin. Sementara Hyunsuk menatap gelasnya yang masih penuh.

Pikirannya melayang pada masa lalu, masa dimana ia mengenal Jihoon bahkan saat sebelum masuk sekolah. Ia yang selalu ingin berada disisi Jihoon walau si manis sering menolak, bahkan menakalinya. Hingga suatu hari, ia menemukan Jihoon yang terduduk sendiri. Seragamnya kotor dipenuhi debu. Duduknya memeluk lutut dan wajahnya sembab.

"Kalau tidak punya Ayah, berarti aku ngga boleh sekolah dan punya teman?"

Hyunsuk yang mendengarnya hanya mengedipkan mata. Ikut terduduk dan memeluk tubuh itu erat. Membiarkan Jihoon meletakkan wajah di dadanya hingga keduanya dipanggil oleh Ibu Hyunsuk yang mencari putranya yang tak kunjung pulang.

Sejak saat itu, Hyunsuk mendedikasikan dirinya sebagai penyelamat Jihoon. Apapun yang terjadi. Selalu bersama Jihoon dan menjadi sahabat terbaik. Selalu memberikan yang terbaik untuk Jihoon kecil. Memeluk Jihoon yang terisak menatap abu ayahnya yang tidak dibuang oleh Ibunya di atas televisi.

Jihoon bukan anak yang ketergantungan. Semakin dewasa, Jihoon semakin mandiri. Luka dihatinya semakin cepat membaik menurut Hyunsuk. Ia mudah beradaptasi dan cerdas. Pembawaannya semakin ceria. Dan lagi, selalu terlihat baik-baik saja.

Entah benar atau hanya disembunyikan.

Hyunsuk meraih kepala Jihoon. Menepuknya lembut hingga Jihoon menurunkan tangannya dari wajah. Menampilkan wajah yang lebih baik walaupun matanya semakin sabit kebawah.

"Sudah lega?" Tanya Hyunsuk pelan. Menepuk pipi Jihoon pelan.

"Maaf, Hyunsuk. Aku menyukaimu selama ini. Maaf."

Hyunsuk terkejut tapi berusaha tidak menunjukkannya. Ia masih menepukkan pipi Jihoon yang kini menatapnya dalam.

Hyunsuk tak berniat menjawabnya. Tangannya bergantian menepuk kepala juga pipinya. Jihoon pun tidak ingin mengatakan apapun. Bibirnya bungkam. Mereka sedang kalut dalam pikir masing-masing.

Hyunsuk memasukkan semua barang miliknya dalam tas. Bahkan menunduk mengambil patch hangat itu ke tangan Jihoon.

Ia melepaskan syal di leher dan mengalungkannya pada Jihoon. Menghindari tatapan. Lalu menepukkan lagi pucuk kepala Jihoon lebih pelan.

Menggandeng tangan lembut Jihoon dan membawanya berjalan. Jam menunjukkan pukul 04.04 dan mereka harus pulang.

Besok hari Minggu dan mereka harus istirahat.

Keduanya berjalan berdampingan. Tanpa pembicaraan apapun. Tatapan mereka fokus kedepan. Namun, tangan Hyunsuk masih menggenggam tangan kiri Jihoon yang tidak memegang patch.

Sebuah getar dari saku jaket Hyunsuk rasakan. Ia meraih dengan tangan kirinya. Dan terdiam sebentar ketika melihat nama yang terpampang.

Kang Haerin-ie.

Hyunsuk menoleh pada Jihoon yang bahkan tidak tergerak untuk menoleh sama sekali padanya.

Tuk.

"Halo, Haerin-ie?"

"Kau harus ingat kataku. Sebelum menyesal."

Random Shoot ( Treasure Ship ) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang