Hyunsuk meraih pundak Jihoon pelan.
Sekarang, Jihoon lebih tinggi dan itu membuatnya iri.
"Jihoon, lain waktu jangan pulang kemalaman. Menunggu di stasiun sendirian berbahaya."
Jihoon menelan ludah. Tersenyum kecil.
Walau sudut hatinya masih perih.
"Tidak. Aku tidak menunggu. Kebetulan aku selalu pulang lebih malam. Terus duduk di kursi tunggu untuk mencari headset. Kebetulan saja kita bertemu."
"Bukan kebetulan, Ji. Memang takdir."
Jihoon menoleh. Menatap Hyunsuk yang menatap lurus kedepan dengan senyum semanis delima.
"Takdir kita menjadi sahabat merupakan anugerah yang tak terelakkan dalam hidup, Ji."
Sahabat.
Ingat, Jihoon. Sahabat.
Jihoon menunduk sebentar. Lagi. Air matanya menggenang.
"Jihoon,"
"Hmm?" Jawab Jihoon dengan agak bergetar.
Sedikit terlonjak ketika Hyunsuk memeluk pinggangnya mendekat.
"Dingin ya?"
Bagaimana bisa Jihoon tidak jatuh hati pada Hyunsuk?
Tolong katakan!
Mereka masih berjalan keluar dari stasiun. Jalan mereka lurus, selurus perasaan Jihoon untuk Hyunsuk.
Jihoon berjanji dalam malam, bahwa Hyunsuk akan menjadi akhir muara cintanya. Entah nanti Hyunsuk bagaimana tentangnya.
Tapi, mengingat pandangan cinta Hyunsuk pada Haerin membuatnya ingin membatalkan janji itu.
Jihoon ingin mendapat tatapan itu. Karena selama ini, tatapan "cinta" Hyunsuk justru mengarah pada persahabatan.
Perih.
Jihoon melepas pelan tangan Hyunsuk dipinggangnya. Sang empu menghentikan langkahnya.
"Kenapa, Jihoon?"
Jihoon tidak tahu.
"H-Hyunsuk. Aku akan pulang lewat jalan lain. Hati-hati."
"Jihoon! Jangan bodoh! Ini sudah malam!"
Jihoon merapatkan jaket kulitnya. Mempercepat langkah kakinya entah kemana.
Jihoon merasa bahwa ada sesuatu yang tak bisa ia tahan sejak empat hari lalu. Perasaan yang harusnya keluar. Perasaan yang harusnya mampu mendobrak dirinya agar lebih berani.
"Jihoon!"
Jihoon mengabaikan panggilan Hyunsuk. Ia berbelok ke arah lain. Sementara Hyunsuk langkahnya terpaksa terhenti. Menatap punggung Jihoon yang berjalan cepat entah kemana.
Ia ingin mengejar dan menggeret lelaki sipit itu agar tak bodoh pada pilihannya itu kalau saja ponsel yang menampilkan nama Haerin tidak berdering.
Jihoon berhenti di halte. Duduk sendiri memandang sekitar dengan buram.
Pukul 23.00.
Menutup wajahnya sendiri dengan kedua tangan yang hampir mati rasa karena dingin.
Menumpahkan semua rasa yang benar-benar menyakitinya.
Jihoon, merasa sakit ketika Hyunsuk mengatakan bahwa takdir mereka adalah menjadi sepasang sahabat.
Jihoon tidak mau.
"M-maaf Hyunsuk."
Jihoon semakin terisak.
"Sekali s-saja lihat aku. Tolong."