Part 28

3.4K 165 2
                                    

*****

Rona Pov....

Aku merasakan sesak dan kurasakan beban menimpa bagian pangkal lenganku, ingin rasanya aku membuka mata tapi aku tidak sanggup rasanya terlalu lelah dan "Akhhh.. berat sekal--" aku tertegun saat aku sepenuhnya dapat membuka mataku dan melihat dengan jelas wajah ini, "Vincent..." ku tutup kembali mataku dan kubuka, ku tutup kemudian aku buka berulang kali dan pemandangan yang pertama aku lihat tetap sama yaitu Vincent.

Pantas saja lenganku pegal rupanya dia tidur sambil memelukku tapi dia lupa jika lenganku terlalu kecil menopang tangannya yang besar dan keras ini, "Benar, ini bukan mimpi" gumamku dengan jantung berdebar begitu kencang, bukan karena aku gugup atau bahagia namun sebaliknya aku merasa taku, perasaan takut yang sulit aku jelaskan seolah jika aku berkedip dia akan menghilang dari pandanganku.

"Aku tidak suka Kau memandangiku, aku yang lebih pantas memandangimu" gumam Vincent dengan suara parau khas bangun tidur, apa maksudnya aku tidak mengerti.

"Hhhh..."

"Apa yang Kau pikirkan? kenapa Kau menghela nafas begitu berat?" tanyanya cemas.

"Aku tidak tahu, aku terus merasa cemas dan gelisah"

"Hmmm... Kemarilah"

"Aku harus bagaimana lagi? tubuh kami sudah sangat menempel" aku sedikit menggerutu bingung, dan itu membuat Vincent tertawa kecil seraya mendaratkan kecupan mesra di keningku, rasanya hangat.

"Tapi aku masih merasakan Kau membuat jarak di antara kita"

Aku juga merasakan hal yang sama, aku merasa ada yang mengganjal sehingga wajar jika Vincent masih merasakan jarak itu. Aku merubah posisi tidurku membelakangi Vincent dan tak lama kemudian air mataku menetes tanpa permisi aku kebingungan ada apa dengan perasaanku seolah ketakutan dan kegelisahan itu selalu menyelimuti.

"Sayang. Apa kehadiranku tak cukup membuat nyaman hatimu? apa aku terlalu memaksakan perasaanku terhadapmu?" aku menggeleng kuat, "Lalu kenapa Kau terus bersedih?"

"Aku takut,, hikss,,hikss..." lagi-lagi kata takut lah yang keluar dari mulutku. Kematian Vincent masih terbayang jelas dalam ingatanku sehingga terkadang aku merasa ada dua Vincent dalam hidupku.

Vincent menghela nafas panjang lalu merengkuh pinggangku, menarik tubuhku hingga kurasakan punggungku menempel di perutnya yang terasa keras namun hangat, "Akan kita beri nama siapa jika bayi kita lahir nanti?" refleks tangisanku terhenti saat Vincent mengendus-endus tengkukku sehingga aku dapat dengan jelas merasakan gesekan bulu-bulu kasar di wajahnya juga hembusan nafas beratnya yang membuat tubuhku berdesir hebat.

"Bolehkah aku menamainya Vincent Junior jika dia seorang laki-laki?" Entahlah, beberapa bulan terakhir ini nama itu adalah nama pria paling indah yang begitu nyaman terdengar di telingaku jika nama itu disebut.

"Aku setuju, lalu bagaimana jika perempuan?"

"Bia..." aku mulai merasakan tenang dan ikut bersemangat memikirkan nama bayi kami nanti, "Bayi kami..." aku merasa canggung dengan kata-kata itu. Aku belum bisa memastikan siapa Ayah dari bayiku.

"Dia yang membuat kebahagiaan. Aku pernah membacanya dalam sebuah buku" rupanya tidak ada yang tidak diketahui oleh Vincent "Baiklah, berikan nama indah itu untuk anak kedua kita" aku langsung memutar tubuhku menatap Vincent bingung, "Aku telah meminta pada Tuhan semoga anak pertama kita adalah laki-laki agar bisa melindungimu saat nanti aku tiada"

"Kau baru saja menghiburku dan sekarang Kau sudah membicarakan tentang kematian?" aku kesal, aku sungguh membenci bahasan tentang kematian.

"Kau sangat sensitif sekali, apa karena bawaan hamil?" dia kembali menggodaku tapi sepertinya yang Vincent katakan itu benar, aku sepertinya sangat sensitif dan mudah kesal padahal seharusnya aku tengah berbunga-bunga bukan? "Aku sangat menyukai perempuan sensitif, maksudku saat Kau sensitif" ralatnya cepat seolah mengerti jika aku akan salah faham dengan ucapannya.

MeRona (THE END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang