KEMATIAN

2.7K 148 2
                                    

Sesaat setelah keranda diangkat, Dhamar masuk kerumunan para pelayat. Perhatian orang-orang tertuju kepada laki-laki tinggi berkulit putih di ambang pintu.

Wajahnya tergambar kesedihan teramat dalam. Benteng pertahanannya sudah mendekati jebol, tetapi karena suatu hal, dia hanya mampu menahan.

Laki-laki bertinggi 160-an centimeter itu melangkah pelan. Tatapannya mengarah pada keranda berselimut kain hijau berkalung rangkaian bunga di atasnya. Tidak sedikit pula yang memandangnya, tidak sedikit pula yang mulai menanyakan siapa dirinya.

Seorang perempuan dengan pakaian serbahitam berdiri, lantas menghampiri Dhamar. Mereka berdiri di depan keranda yang sudah diturunkan, diletakkan lagi ke teras.

“Boleh dibuka, Pak?” Perempuan berkulit putih itu bertanya kepada salah seorang laki-laki di sampingnya.

Kain hijau dibuka, demikian dengan penutup kerandanya, isak tangis perempuan itu makin keras saat melihat seraut wajah perempuan tua yang sudah berbalut kain putih.

“Ibu ....”

Sesosok tubuh berbalut kain putih ditatap lekat-lekat. Tidak ada kata lain selain penyesalan. Baik laki-laki itu maupun perempuan yang berada di sampingnya, sama-sama menyesal. Terlambat sudah untuk memperbaiki kesalahan.

“Kita dikejar waktu dan hujan,” kata laki-laki yang tadinya ikut mengangkat keranda.

Langit hari itu memang mendung, semendung anak-anak dari ibu itu. Matahari tertutup awan hitam, hawa yang awalnya panas, berganti dingin. Angin kencang sesekali bertiup, menjatuhkan dedaunan dari batangnya.

Rintik-rintik hujan mulai turun di saat para pelayat hendak bertandang ke pemakaman. Beberapa orang sempat memberikan saran untuk menunda keberangkatan, tetapi tidak sedikit orang yang menolak. Kata seorang ketua RT di sana, jenazah Rukmini harus sesegera mungkin dimakamkan.

“Dhamar, kamu serius mau ikut menggotong?” tanya Rahayu, perempuan berpakaian serbahitam kepada adiknya saat itu.

Meskipun tidak sendirian, beban yang dibawa masih berat. Namun, Dhamar berusaha kuat untuk tetap turut menggotong ibunya ke tempat peristirahatan terakhir. Hanya ini yang bisa dilakukannya untuk yang terakhir kali.

Jalan tanah berbatu dengan kanan-kiri dikelilingi pemandangan perkebunan warga mereka lewati. Tidak sedikit dari para pelayat yang berharap rintik-rintik belum berubah menjadi hujan besar sebelum selesai memakamkan jenazah.

Hari yang seharusnya masih siang itu, terasa seperti sudah sore. Sinar matahari tidak terlalu mampu menembus tebalnya awan hitam. Dhamar tidak hanya sekadar memikul, tetapi turut menyesuaikan gerakan kaki-kaki dari tiga orang lain yang dirasa langkahnya dipercepat.

Dhamar tahu, perjalanan ke pemakaman masih cukup panjang, mereka mungkin berniat cepat sampai tujuan sebelum hujan besar turun. Pernah mendapat tawaran untuk bergantian menggotong keranda, tetapi Dhamar menolak dengan berlagak masih mampu tetap melanjutkan perjalanan.

Kilatan petir menyambut kedatangan para rombongan pengantar jenazah. Mereka sudah berdiri mengelilingi sebuah lubang berukuran dua kali satu meter. Tanpa pikir panjang, Dhamar turut turun ke dasar lubang bersama dua orang lainnya, yang mana mereka adalah saudaranya.

Prosesi pemakaman berlangsung cukup cepat. Lubang dua kali satu meter itu sudah kembali tertutup. Bunga beraneka rupa dan warna bertabur di atasnya, dua buah papan nisan tertancap sebagai penanda, tidak lupa sebuah payung memayungi satu sisi gundukan.

“Ayo, pulang.” Sebuah tangan kekar menepuk pundak perempuan berpakaian serbahitam. Orang itu adalah Aryo, sang suami.

Aryo dan Rahayu beruntung bisa cukup lama bersama ibunya. Setelah mendapat kabar meninggalnya Rukmini, mereka bergegas, langsung pergi meskipun saat itu matahari baru saja menampakkan diri.

Pukul delapan pagi mereka sampai di rumah duka. Rahayu adalah anak Rukmini yang pertama datang, lalu berselang satu jam kemudian disusul Herman, kakaknya. Tepat pukul satu siang, barulah Dhamar datang.

Rahayu mengembuskan napas panjang. Sebelum berdiri, dia menatap gundukan tanah bertabur kembang. Tangan Aryo kembali terulur saat perempuan itu akan berdiri.

Tidak terkecuali dengan Dhamar, dia masih memandangi gundukan tanah sesaat setelah pandangannya beralih. Matanya menatap sesuatu.

“Ayo, pulang.” Tepukan di pundak Dhamar, membuatnya tersentak.

Pandangan Dhamar beralih sekilas. Saat menatap ke arah sosok ibunya, dia tidak melihat apa pun, kecuali barusan nisan yang berjejer rapi di hadapannya.

Antara kenyataan atau hanyalah imajinasi, beberapa saat lalu Rukmini sedang berdiri di samping nisan Lestari, sang anak, yang menyusul mendiang ayahnya.

Perempuan paruh baya dengan rambut dibiarkan terurai itu tengah menatap anak-anaknya dari jarak tidak terlalu jauh. Dia menghilang sesaat setelah pandangan Dhamar beralih.

***

“Ibu sudah dimakamkan,” kata Rahayu, menjelaskan ke Anwar yang baru datang.

Sebelumnya, baik Herman maupun Aryo sama-sama mencoba menghubungi Anwar agar lebih cepat mengendarai motor. Namun, berselang lima jam setelah Rukmini dimakamkan, Anwar baru datang. Rahayu sampai dibuat dongkol dengan keterlambatan sang adik. Di saat semua orang bergegas agar cepat-cepat sampai, Anwar justru terlihat biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

“Ya, sudah,” kata Anwar. Dia pun beranjak menuju kamarnya di lantai dua sambil menenteng helm.

Sore itu kediaman Rukmini mulai sepi, penyebabnya tidak lain adalah hujan. Kecuali para anak beliau, ada tetangga sebelah yang menemani. Mereka tidak lain tengah memasak untuk acara nanti malam.

Rahayu hanya geleng-geleng melihat Anwar yang tampak biasa saja. Tidak ada guratan penyesalan pada adiknya itu. Anwar malahan berlalu begitu saja.

Di sisi lain, Dhamar tengah berada di kamar ibunya. Dia masih membiarkan seisi kamar masih pada tempatnya, kecuali mengambil bingkai foto yang terjatuh sampai pecah kacanya.

Meskipun kurang nyaman dengan aroma balsem bercampur minyak angin, Dhamar masih tetap berada di kamar untuk sementara. Pandangannya menatap sebuah foto dirinya yang tengah berdiri di antara barisan adik, kakak, dan orang tuanya.

Tiba-tiba kilat menyambar, lalu terdengar suara memekak telinga. Dhamar beralih pandang. Ditatapnya jendela kaca di samping ranjang Rukmini. Satu jendela itu sedikit terbuka dan dia baru menyadarinya.

Ketika hendak berjalan menuju jendela, salah satu pintu lemari terbuka sembari mengeluarkan bunyi decit. Dhamar berhenti melangkah, lalu menoleh ke lemari. Aroma kamper seketika tercium.

Masih teringat pesan Rukmini agar tidak pernah membuka kamarnya. Namun, karena dia sudah meninggal, Dhamar berpikir tidak mempermasalahkan lagi. Selain berisi pakaian, pasti ada surat-surat berharga di dalam sana, maka dari itu Rukmini tidak memperkenankan siapa pun membuka kamar tanpa izin.

Lemari terbuka, isi di dalamnya kebanyakan pakaian Rukmini. Tidak ada yang menarik perhatian kecuali pada sebuah kotak kayu yang terselip di antara tumpukan baju. Sempat ada keraguan, tetapi pada akhirnya kotak itu diambil.

Kotak kecil terbuat dari kayu yang memiliki desain ukiran ternyata tidak bisa dibuka. Saat digoyang-goyangkan, terdengar sesuatu di dalamnya. Dhamar memilih meletakkan kotak itu ke tempat semula, tidak berniat mencari tahu isi di dalamnya yang kemungkinan besar adalah perhiasan.

Saat hendak memasukkan kotak ke tempat semula, Dhamar melihat besek yang tergeletak di tumpukan pakaian di barisan paling atas. Dia baru sadar akan keberadaan benda itu. Karena penasaran, besek diambil hampir bersamaan dengan kotak kayu yang kembali diletakkan di tempat semula.

Entah apa isinya, akan tahu setelah membukanya. Dia terdiam dengan mulut sedikit terbuka. Di dalam besek terdapat semacam perlengkapan jenazah, seperti kain kafan, tikar, kapas, dan lain sebagainya.

“Ini ....” Dhamar mengingat-ingat kenangan lama.

“Dhamar.”

Suara Rahayu dari balik pintu. Jika dia tahu Dhamar ada di kamar Rukmini dan melihat pintu lemari terbuka, bisa marah-marah nanti. Tanpa pikir panjang, Dhamar tergesa-gesa meletakkan besek ke dalam lemari lagi sebelum sang kakak tahu keberadaannya.

35 Hari Teror IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang