ZIARAH

782 77 0
                                    

Herman memandang gundukan tanah bertabur kembang sembari mengusap nisan bertuliskan Rukmini. Keadaannya dalam kondisi tidak baik. Tidak ada tempat bercerita, kecuali dengan sang ibu.

“Kalau dulu Herman nurut apa kata Ibu, mungkin tidak akan seperti ini.”

Hanya ada penyesalan di benak Herman. Rumah tangga yang sudah dibina cukup lama, tidak bisa terselamatkan. Herman dan Rini, saat ini, sudah resmi bercerai dengan hak asuh anak jatuh ke tangan sang istri.

Herman terpaksa pulang karena sudah ditunggu Rahayu. Setelah melakukan tetek bengek di rumah sampai lupa sarapan dan makan siang. Perutnya tidak bermasalah, yang bermasalah hanyalah pikiran dan hatinya. Siang itu dia langsung melesat. Perjalanan memakan waktu tiga sampai empat jam, tergantung kondisi jalan.

Tepat pukul setengah enam sore, Herman sampai di pemakaman umum, tempat sang ibu berbaring. Meskipun matahari sudah hampir tenggelam dan hanya seorang diri, tidak menyurutkan niatnya mengunjungi makam sang ibu. Bunga-bunga yang layu, tergantikan dengan yang baru. Herman pun mulai bercerita.

“Sekarang, Herman harus apa, Bu? Dulu Ibu selalu memberikan solusi, Herman ingin minta solusi Ibu seperti apa.” Dalam kesendirian, Herman berbicara sendiri.

Dahulu, Rukmini pernah berpesan jika suatu saat nanti ketika telah tiada, ingin disandingkan di samping sang suami. Namun, di samping makam Hadi yang sebelumnya kosong, sudah terisi. Tidak mungkin juga para penggali kubur memindahkan jenazah orang lain untuk diganti dengan jenazah Rukmini, urusannya akan susah.

“Herman ....”

Herman seperti mendengar suara seseorang meskipun samar-samar. Suara yang tidak asing dikenal. Saat menengok, tidak ada seorang pun yang terlihat.

Tiba-tiba angin berembus cukup kencang. Dedaunan bergerak-gerak, bahkan dibuat berguguran. Aroma kembang bermekaran di sekeliling pemakaman, turut terbang terbawa angin. Semerbak wanginya tercium kuat, suasana dalam pemakaman berubah mencekam, ditambah suara azan Magrib samar-samar mulai terdengar.

Perasaan Herman tidak tenang, bulu kuduknya pun mendadak meremang tanpa sebab, entah dingin atau karena mendengar seseorang memanggilnya.

“Bu, Herman pulang dulu." Herman memandangi lagi gundukan tanah di hadapannya sebelum beranjak.

Herman berdiri dan saat itulah merasa tangannya digenggam. Dia tersentak kaget dan langsung menoleh ke samping kiri. Tidak ada siapa-siapa, tetapi Herman sangat yakin pergelangan tangannya digenggam, genggaman yang terasa sangat dingin.

Tidak bisa disangkal bahwa dirinya merasa makin tidak nyaman, bahkan lebih ke arah takut.

“Maafkan ibu.”

Herman langsung menoleh. Dia tersentak sampai dibuat terjungkal karena tiba-tiba ditampakkan sosok Rukmini yang berdiri di sampingnya. Dia terduduk di atas gundukan. Saat menoleh, sosok ibunya sudah menghilang.

Napasnya tersendat-sendat, detak jantung mendadak berdebar-debar. Dengan mata kepala sendiri, Herman sangat jelas melihat wajah sang ibu yang pucat kesi. Meskipun hanya sepintas, membuat nyalinya ciut seketika.

“Ibu?” Dalam ketakutan, Herman memanggil Rukmini.

Lagi-lagi Herman dikejutkan sewaktu memandang sekeliling. Dia melihat sosok berpakaian putih dengan rambut panjang menjuntai, melayang di bawah pohon besar. Jarak Herman berdiri dengan sosok itu hanya terpaut sepuluh meter, cukup dekat dan cukup jelas apa yang dilihat.

Herman bergeming saat menyaksikan sosok putih di sana perlahan melayang ke arahnya. Lemas sudah persendiannya. Bukan hanya satu atau dua kali dirinya diperlihatkan sosok-sosok makhluk halus dan seperti biasa, selalu sukses membuatnya takut.

Makin lama makin dekat, wajah sosok tersebut mulai jelas: kehitaman dengan kulit berkerut dan sepasang bola matanya merah menyala. Herman seperti dibuat terhipnotis sampai-sampai baru bisa menggerakkan tubuh saat jaraknya tidak lebih dari tiga meter.

Laki-laki itu sontak berlari tunggang langgang dalam remang-remang, melewati satu per satu makam sambil sesekali menoleh ke belakang. Minimnya jarak pandang, membuatnya harus ekstra hati-hati dalam melangkah. Kakinya bisa saja tersandung kijing yang pasti bisa membuat keseimbangannya tidak stabil dan berakhir tersungkur di tanah atau lebih parahnya, kepala bisa terjedot keramik kijing.

Herman menoleh ke belakang sekali lagi, sosok itu masih melayang di atas makam Rukmini dengan tatapan mengarah kepadanya. Dia terus menjauh dengan pikiran dan perasaan kacau. Makin dekat dengan pintu keluar pemakaman, tidak sengaja kaki kirinya tersandung kijing, membuatnya jatuh tersungkur.

Sebuah keberuntungan tidak sampai menghantam salah satu kijing di samping atau depan, rasanya akan jauh lebih sakit. Meskipun dada dan lengan kanannya ngilu, Herman tetap bangkit. Sedikit lagi dia bisa keluar makam dan di sanalah motornya diparkirkan.

Detak jantungnya terasa berdebar kencang, napas pun turut tersengal-sengal. Herman berlari tidak lebih dari dua puluh meter, tetapi tubuhnya memanas, bahkan keringat muncul di beberapa bagian. Dia tidak peduli, yang jelas motornya sudah terlihat makin dekat.

Tanpa banyak drama, motor berhasil dihidupkan. Herman sekilas menatap bagian dalam pemakaian. Di sana sudah makin gelap, sosok itu pun tak lagi terlihat. Motor pun berlalu meninggalkan pemakaman.

***

Herman duduk di sofa ruang tamu sesampainya di rumah. Meskipun keadaannya sudah makin membaik, dia masih membutuhkan ketenangan.

“Abang habis dari mana?”

Herman yang tengah menunduk, tersentak mendengar suara Dhamar. Mereka sama-sama kaget.

“Bikin kaget,” kata Herman kesal. “Tolong ambilkan minum.”

Dhamar tidak langsung bergerak. Dia menangkap keanehan di pipi Herman yang kotor. Ada tanah menempel di sana, bahkan di beberapa bagian pakaian yang dikenakan sang kakak juga ada. Dhamar pun bertanya, yang ada di pikirannya mungkin Herman terjatuh di suatu tempat.

“Ambilkan air dulu, nanti abang cerita. Cepet, ya.”

Dhamar sebenarnya sudah mengiakan dari awal, tetapi karena melihat keanehan pada diri sang kakak, membuatnya belum bergerak. Dia kembali dari dapur dengan membawa sebelas air putih. Gelas yang semula penuh, tandas dalam hitungan detik.

“Abang kenapa?” Dhamar kembali bertanya setelah mengambil gelas dari tangan Herman. Dia masih berdiri di depan sang kakak, tanpa ada niatan duduk.

Herman menatap sekilas wajah Dhamar. Dia kembali membayangkan kejadian menakutkan saat di pemakaman. Sosok itu selain membawa ketakutan, juga membuat pertanyaan. Dia harap apa yang dilihat tidak seperti yang dibayangkan. Wajah sosok itu mirip Rukmini.

“Bang.” Dhamar memanggil Herman yang masih terdiam, bahkan melamun.

Bisa saja Herman bercerita, tetapi ada rasa kekhawatiran justru berujung runyam. Meskipun mirip, belum tentu sosok itu adalah Rukmini. Herman ragu untuk bercerita.

“Kok, masih duduk, ayo, makan!” ucap Rahayu, membuat Dhamar dan Herman sama-sama menoleh ke arahnya.

Rahayu sudah menitipkan pesan ke Dhamar agar menyuruh Herman makan. Ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, dia pun akhirnya pergi.

Saking penasarannya atas apa yang terjadi dengan Herman, Dhamar sampai lupa pesan Rahayu.

“A, iya, lupa. Abang disuruh makan,” ucap Dhamar yang sudah terlambat.

Herman mengangguk mengiakan, hanya saja dia masih ingin duduk beberapa saat lagi. Pada akhirnya, Herman menyuruh agar Dhamar makan lebih dahulu, nanti dirinya akan menyusul.

Dhamar makin curiga dengan sikap Herman. Yang jelas, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan sang kakak.

35 Hari Teror IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang