JATI DIRI ANWAR

893 78 0
                                    

“Jadi, Bang Anwar itu?”

Rahayu mengangguk, mengiakan bahwa Anwar bukanlah anak kandung Rukmini. Dhamar yang tidak tahu apa-apa, akhirnya tahu sebuah rahasia yang disembunyikan keluarga.

Suami Rukmini dahulu adalah seorang donatur di salah satu panti asuhan. Ketika memiliki rezeki lebih, mereka akan mendonasikan uangnya untuk kebutuhan pengurus panti dalam mengasuh anak-anak. Sampai suatu ketika saat mereka berpamitan, seorang anak perempuan datang sambil menggendong bayi.

Saat itu baik Rukmini, Hadi—sang suami, maupun pengurus panti, sama-sama bingung. Anak kecil itu ditanya banyak hal, tetapi informasi yang didapat hanya sedikit. Ibu Santi—pemilik panti—akhirnya merawat bayi laki-laki itu.

Hari demi hari, Hadi kepikiran dengan anak itu. Dalam satu bulan, bisa terhitung lima sampai tujuh kali datang ke panti, tidak lain untuk menengok bocah kecil berumur satu tahun tersebut. Ada semacam keterikatan antara dirinya dengan si bayi, sampai pada akhirnya, Hadi dan Rukmini memutuskan merawatnya.

Setelah mengurusi berbagai macam surat-surat dan tetek bengek lainnya, bayi yang diberi nama Anwar itu resmi diadopsi. Anwar dirawat dengan penuh kasih sayang layaknya anak kandung. Herman dan Rahayu menerima Anwar dengan lapang dada.

Dhamar bahkan tidak tahu tentang Anwar, dia menganggap sang kakak adalah anak kandung Rukmini. Meskipun rupa fisik Anwar agak berbeda dari yang lain, bagi Dhamar, bukan suatu masalah sampai pada akhirnya sebuah fakta terungkap.

“Kenapa aku tidak dikasih tau tentang ini?” tanya Dhamar, merasa kecewa dengan rahasia yang orang tua, bahkan kakaknya tutupi.

“Buat apa kamu tau? Apa segitu pentingnya? Lagian, meskipun Anwar bukan anak kandung Ibu dan Bapak, dia tetap disayang, Mbak pun sama.” Rahayu menjelaskan.

Rahayu dan Herman masing-masing mendapatkan wejangan dari Hadi dan Rukmini. Orang tuanya meminta agar tidak ada yang membahas masalah jati diri Anwar. Bagaimanapun nanti ke depannya, meskipun Anwar bersikap kurang ajar, Rahayu dan Herman tidak diperkenankan membahas anak itu.

Rahayu yang hendak menjelaskan, dikejutkan dengan suara debum yang terdengar dari luar rumah, lalu disusul suara rintihan.

“Mas Aryo.”

Rahayu bergegas mendatangi lokasi, Dhamar mengikuti dari belakang. Perasaannya tidak enak. Mereka awalnya mencari di dalam rumah, sampai Aryo bersuara bahwa dirinya berada di belakang dapur. Mereka buru-buru keluar dengan kepanikan yang makin menjadi-jadi.

Benar saja, Aryo ditemukan tergeletak di tanah sambil memegangi siku. Di sampingnya, teronggok sebuah tangga. Rahayu bergegas membantu sang suami sembari dibantu Dhamar.

“Mas, ngapain, sih, naik-naik segala?” Sembari membantu memapah sang suami, Rahayu mengomel.

Aryo dibawa ke ruang televisi, lalu perlahan dan hati-hati, dibaringkan ke sofa. Terdapat luka di siku dan lutut, darah masih terus keluar. Rahayu bergegas ke kamar, tidak lain untuk mengambil kotak P3K.

Dhamar justru bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Dia merasa ngeri melihat darah di lengan Aryo.

“Tolong ambilkan air hangat,” perintah Rahayu yang sudah datang dengan sekotak P3K. Seharusnya dia memerintah sang adik lebih awal, tetapi karena panik, tidak terpikirkan..

Dhamar kembali dengan sebaskom kecil air hangat. Dengan telaten, Rahayu membersihkan luka di lutut dan siku sang suami dan tentu saja diselingi ocehan. Tidak ada niatan memarahi, yang namanya musibah takada satu pun yang tahu. Perempuan itu khawatir, memarahi pun lebih ke arah peduli.

Aryo menahan rasa perih di luka. Dia yang saat itu baru saja selesai membakar sesajen di belakang rumah, teringat pesan seseorang mengenai kebocoran di dapur. Laki-laki berkulit cokelat dan berkumis tipis itu memutuskan memperbaiki genting.

35 Hari Teror IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang