SEBUAH RENCANA

774 79 0
                                    

“Aku masih tidak percaya kalau itu memang Ibu.”

Meskipun waktu itu Rahayu pernah ditampakkan sosok Rukmini, terselip rasa tidak percaya jika memang itu adalah ibunya. Tidak hanya Rahayu seorang, anak-anak lain Rukmini pun demikian.

“Kalau itu memang Ibu, kenapa ganggu anak sendiri? Kita pernah salah apa?” Rahayu masih mengemukakan pendapat.

“Apa mungkin sajen itu?” celatuk Aryo.

Sesaat sebelum membakar sesajen, tiba-tiba angin berembus, udara sekitar pun mendadak lebih dingin. Tidak hanya itu, dia juga merasa seperti diawasi seseorang. Setelah selesai membakar dan ketika hendak memperbaiki genting, terjadilah kecelakaan.

“Dari dulu memang tidak pernah melihat sesajen di rumah ini. Setahuku, Ibu juga bukan orang yang aneh-aneh,” ucap Herman, turut bersuara.

Semua terdiam di kursi masing-masing. Sebelum makan, Aryo berpesan ingin menyampaikan sesuatu, salah satunya mengenai masalah teror yang tengah mengintai. Karena memang aneh dan tidak wajar, masalah itu akhirnya turut diceritakan.

Herman akhirnya turut bercerita masalah di pemakaman. Dhamar yang bertanya-tanya kenapa ada bekas tanah di pipi dan beberapa bagian baju sang kakak, tahu alasannya.

Di sisi lain, Anwar hanya terdiam. Dia memang tidak merasa diganggu sosok ibunya, alhasil untuk apa ikut menyumbang cerita? Meskipun kaget mendengar masalah-masalah yang terjadi, saat ini Anwar juga belum sepenuhnya percaya bahwa sang ibu meneror anak-anaknya tanpa sebab meskipun sebenarnya pasti ada penyebabnya.

“Atau mungkin ada kesalahan ke Ibu yang justru ditutupi? Mungkin kalian punya kesalahan ke Ibu, atau mungkin ... rahasia.” Anwar akhirnya ikut andil

Rahayu menoleh ke Anwar yang duduk di samping Herman yang berseberangan dengan meja. “Maksud kamu apa?”

“Mungkin Mbak Ayu ada kesalahan sama Ibu yang mungkin lupa atau mungkin sengaja ditutupi. Bang Herman siapa tau punya kesalahan juga.” Anwar menjawab sambil memainkan sendok.

Di pikiran Aryo, perkataan Anwar ada benarnya. Tidak menutup kemungkinan, Rahayu, Herman, atau semua orang, memiliki kesalahan ke Rukmini, baik sengaja ataupun tidak disengaja. Namun, jika memang benar, yang menjadi pertanyaan, kesalahan seperti apa yang mereka perbuat atau diri Aryo sendiri yang sampai menyebabkan Rukmini mengganggu?

“Mbak punya kesalahan apa sama Ibu?” Rahayu berbicara sendiri.

Rahayu sedang tidak membela diri, lebih ke arah introspeksi diri. Dia mengingat-ingat, siapa tahu menemukan hal-hal apa saja yang sekiranya pernah diperbuat di masa lalu. Satu hal yang terlintas, apa mungkin karena kerap berbohong tidak bisa pulang karena alasan sibuk yang menjadi penyebab?

Tidak berbeda jauh dengan Rahayu, Herman turut introspeksi diri dengan cara mengingat apa saja yang sekiranya pernah diperbuat di masa lalu. Apa karena pernah memecahkan vas bunga, pernah dua kali lupa mengirim uang, atau berbohong tidak bisa pulang ke rumah? Apa mungkin hal seperti itu yang menjadi penyebab?

Di sisi lain, Dhamar memiliki satu argumen. Dia merasa besek berisi peralatan jenazah itulah penyebabnya. Dia ingin bercerita, tetapi Herman menyuruh tidak membahas masalah kain kafan. Namun, setelah dipikir-pikir, Dhamar meyakinkan diri agar tetap membahas masalah ini. Bagaimanapun juga, semua orang harus tahu.

Akan tetapi, saat baru saja angkat bicara, Rahayu terlihat aneh. Perempuan itu menatap sambil menunjuk ke arah gorden dengan ekspresi wajah tegang.

Dhamar, Herman, dan Anwar menoleh. Mereka dikejutkan dengan sesuatu yang menyembul di balik gorden. Sosok atau sesuatu di sana terlihat cukup jelas, ada sesuatu menyerupai bentuk manusia, tengah melayang di perbatasan ruang televisi dan dapur.

Herman beranjak, memberanikan diri berjalan ke sana. Dia lebih berani karena tidak sendirian. Perlahan, tetapi pasti, langkahnya makin mendekati gorden. Suasana di dalam dapur mendadak hening, semua orang fokus menatap sesuatu yang melayang di balik gorden.

Sosok atau sesuatu di balik gorden makin jelas. Bentuknya menyerupai seseorang, ujung kepalanya hampir menyentuh pintu bagian atas, sedangkan kakinya tidak terlalu terlihat karena tertutup kain gorden.

Tangan kanannya terangkat. Meskipun banyak orang, ternyata masih cukup membuat nyalinya menciut. Ujung jemarinya dengan gorden hanya terpaut tiga jengkal. Herman memberanikan diri menarik gorden dalam satu tarikan.

Sosok itu menghilang, tidak ada siapa-siapa juga di ruang televisi. Herman terpaku di tempat, kali ini memang sudah sangat yakin ada yang tidak beres.

Bisik-bisik di meja makan tidak dapat dihindarkan. Saat itu Rahayu tidak sengaja menatap gorden, lalu tiba-tiba muncul sosok menyerupai manusia di sana. Tidak mungkin bayangan benda di ruang televisi. Jikapun benar, tidak mungkin muncul tiba-tiba.

***

Dhamar mengetuk kamar Herman. Dari kejadian yang belum lama terjadi, dia sangat yakin pasti ada hubungannya dengan kain kafan dan pesan Rukmini kepada Herman.

Terdengar langkah mendekat, tidak lama kemudian pintu pun dibuka.

“Apa?”

“Bang, aku mau bicara.”

Dari raut wajah Dhamar, Herman sudah bisa memastikan akan membahas masalah Rukmini. Sang adik disuruh masuk, pintu pun ditutup sekaligus dikunci.

“Bang, ini pasti ada kaitannya dengan kain kafan Ibu. Dari dulu, kita sama sekali tidak mengalami apa-apa. Baru kali ini keluarga kita diteror,” kata Dhamar panjang lebar dengan suara yang tidak terlalu nyaring.

Sambil menjawab, langkah Herman menjauhi Dhamar, berjalan ke arah jendela. “Abang juga tidak tau kalau ujung-ujungnya akan seperti ini. Yang herannya, apa mungkin Ibu sampai marah karena permintaannya tidak dituruti?”

“Kalau memang iya, bagaimana?” Pertanyaan Dhamar justru membuat Herman terpojok, pikirannya pun makin runyam. “Sebenarnya, hal seperti ini sulit dipercaya, tapi ....”

Langkah Herman terhenti di depan jendela. Ditatapnya desa tempat kelahirannya yang saat ini sudah sepi. Tidak ada keanehan, semua terlihat normal. Sesekali kendaraan roda dua muncul, satu-dua orang terlihat tengah berjalan ke suatu tempat.

Desa tempat tinggalnya memang dikenal sepi, salah satu faktor adalah sedikitnya penduduk. Jarak antara satu rumah dengan rumah lain terpaut lima meter. Sebagian besar lebih banyak pepohonan daripada rumah warga.

Meskipun begitu, aliran listrik sudah tersedia bertahun-tahun yang lalu, jalan desa pun sudah aspal. Bisa dibilang desa itu bukanlah desa tertinggal. Tidak bisa dimungkiri, Herman merindukan suasana sepi seperti ini, suasana yang sangat mustahil didapat di kota.

Setelah dipikir-pikir sambil menikmati suasana malam hari yang terlihat tenang, Herman balik lagi ke Dhamar. Ditatapnya sang adik lekat-lekat yang masih berdiri di samping ranjang, seolah-olah ada hal penting yang akan segera disampaikan.

Herman terdiam sejenak. Dia meyakinkan diri apa yang akan dikatakan nanti sudah merupakan keputusan besar. Jika semua teror memang perbuatan Rukmini, dia akan bertanggung jawab menyelesaikan kengerian yang terjadi.

“Kalau memang Ibu marah karena kain kafan, aku akan menebus kesalahan.”

Dhamar tersentak mendengar perkataan Herman. Dia pun lantas bertanya apa maksud ucapan sang kakak. Yang jelas, dia mempertanyakan apa maksud menebus kesalahan.

“Malam ini, kita bongkar makam Ibu.”

35 Hari Teror IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang