"Lu gila ya? Ngapain lu maksa? Dia gak mau, ya udah gak usah maksa!" bentak Bona pada lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Arfin.
"Anu, kan saya ngomongnya sama dia, kenapa Anda yang sewot sih dari tadi?" tanya Arfin sambil menunjuk Seyda.
"Dasar, Bocah!" kata-kata mutiara lalu keluar dari mulut Bona. Seyda memperhatikan sekitar dan melihat bahwa semua orang tengah melihat ke arah mereka. Mata Seyda kini tertuju pada empat orang bocah lainnya yang duduk di seberangnya. Temen-temennya asik banget lihat dia ke siksa, baguslah, pikirnya.
"Bon, udahlah, ah! Bisa-bisa diusir kita!" Reza yang sedari tadi terdiam malah kena semprot juga gara-gara tak membela Seyda.
Melihat kesempatan untuk berinteraksi dengan sang pujaan hati, Arfin menatap mata Seyda dengan penuh cinta dan bertanya untuk ketiga kalinya apakah ia tak mau menjadi pacarnya. Seyda tersenyum simpul sambil menatap kembali mata Arfin.
"Gak." senyuman manis dari Seyda hilang seketika dan tatapannya berubah tajam. Ia lalu menarik kerah baju Arfin dan berbisik, "Gue udah bilang enggak, kan? Gue tau lu gak bonge. Lu harus inget satu, kalau mau jadian sama cewek itu jangan di pertemuan pertama kaya sekarang, sama jangan maksa,"
Seyda mengajak kedua sahabatnya untuk pergi dari restoran, meninggalkan Arfin yang terkejut karena jantungnya berdegup sangat kencang.
***
"Yaaah ditolak kan, lu! Yahahaha!" Dirga tertawa paling kencang di antara sahabat Arfin yang lain.
"Selamat ya Fin, pertama kali nembak langsung ditolak!" tambah Gilang. Tegar dan Byan hanya ikut tertawa mendengar ucapan sahabat-sahabatnya.
Bagaimana kondisi Arfin? Jangan ditanya. Dirinya terus cemberut sekaligus kesal karena perilaku cewek yang tak ia kenali namanya tadi mempermalukannya. Arfin juga kesal mengapa jantungnya berdegup sangat kencang, tidak seperti biasanya.
Bisikan cewek tadi selalu lewat di pikirannya dan tak berhenti membuat anak berumur lima belas tahun itu gugup. Sesampainya di rumah pun sama, bahkan menjelang tidur pun tak berhentinya bisikan itu mengganggunya.
"Gue udah bilang enggak, kan?"
"Kalau mau jadian sama cewek itu jangan di pertemuan pertama,"
"Sama jangan maksa,"
"Perasaan dia ngomong biasa aja, kok gue kaya gini sih?" tanya Arfin. "Ahh bodo amat! Pokoknya inget ya lu, cewek sok pinter! Gue tandain lu di pikiran gue!"
Ancaman yang tak sampai itu sekaligus menutup hari terburuk untuk lelaki bernetra kecoklatan dan berhidung mancung itu. Kelopak matanya yang berwarna kuning langsat tertutup dan membawanya ke mimpi yang indah.
***
Empat bulan kemudian ...
Seyda, Revi dan Ravi—dua adik Seyda—diantar ke sekolah oleh papa mereka. Seyda yang duduk di kursi depan gugup tak karuan karena hari ini hari pertamanya di SMA. Perempuan berusia delapan belas tahun itu terus menatap name tag berwarna hijau yang sedang digunakannya.
"Kak, mandangin name tag mulu. Foto yang ada di situ cantik banget ya?" tanya Ravi.
"Cantik banget, putrinya Papah kan emang selalu cantik!" ucap Papa yang membuat Seyda dan Revi tersipu malu, sedangkan Ravi jijik dengan fakta tersebut. Ditambah lagi dengan kembarannya yang ikut tersipu malu mendengar ucapan sang papa.
"Pah, kalau putranya Papah gimana? Ganteng gak?" tanya Ravi sambil mengusap rambutnya.
"Cih, sok ganteng lu!" cibir Revi. Ravi tak peduli dan dengan mata berbinar-binar menunggu jawaban dari papanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] 18 At 10
Teen FictionFOLLOW DULU KALAU MAU BACA‼️‼️ Jangan lupa vote dan komen ya👋🤩 Setahun telah berlalu sejak gadis manis itu melepas masa Sweet Seventeennya. Sebuah masa di mana seumuran gadis cantik itu telah memasuki jenjang pendidikan tinggi yang spesial. Namu...