19| Tawuran

10 1 0
                                    

“Eh bro, si Seyda gak masuk terus perasaan, kemana?” tanya Gilang sambil memakan es krim rasa choco mint di kantin.

“Lah, lu liat ‘kan kemarin si Ravi diapain? Di musuhin lah, diejek lah, ya mana mau kali dia masuk!” Tegar menjawab.

“Tapi gue kangen deh sama rasa pas hati gue geter,” celetuk Arfin sambil memegang dada sebelah kiri.

Gilang dan Tegar mengerutkan dahi bersamaan. Tegar lantas bertanya, “Geter gimana? Hati lo jadi HP apa begimana?”

Arfin menghembus napas kesal. “Lo berdua masa gak ngerti sih?!” Byan menjilat es krim coklatnya. “Hati gue geter gitu lho tiap liat si Seyda! Nah, gue kangen sama rasa itu!”

“Geter?” tanya Gilang. “Gimana sih? Aneh gue! Mode geter di otak Lo bunyi tiap deket si Seyda?”

Berbeda dengan Gilang yang langsung berbicara, Tegar justru berusaha memikirkan maksud dari Arfin. Tak lama, ia berteriak, “BERDEBAR ANJENG!”

“Nah, itu! Debar, berdebar!” Arfin kini menggigit cone es krim dan tak peduli dengan reaksi kedua temannya. “DEBAR SAMA GETER BEDA YA ANJENG!” Bahkan, teriakan dari Gilang pun seolah hanyalah angin yang lewat di telinganya.

“Eh tapi, kalau hp geter bisa gak sih disebut berdebar juga?” celetuk Arfin.

“Serahlah, njing.” Gilang memalingkan mukanya.

“Eh, serius, njing. Nih ya, kalau hp geter kan tandanya masih hidup, nah kalau jantung kita berdebar ‘kan kita tandanya masih hidup juga,” jelas Arfin dengan tampang serius.

“Emang bego!” Tegar memukul kepala Arfin sedikit keras, membuat yang punya kepala mengeluh dan memberi tatapan tajam padanya.

Setelah cukup lama berada di kantin, mereka bertiga memutuskan untuk kembali ke kelas. Saat akan kembali ke kelas, mereka mendapat notifikasi dari grup Leander bahwa hari ini akan diadakan rapat mengenai tawuran di esok hari. Pesan yang dikirim dari Byan itu membuat Tegar dan Gilang mengeluh karena mereka ingin pulang cepat. “Dah yok, semangat, besok kita tawuran!” seru Arfin dengan semangat sambil merangkul kedua temannya.

***

“Eh, papah!” Irwan langsung bangkit dari kursinya dan menyimpan papan dada yang ia pegang. Alangkah terkejutnya ia saat melihat seorang polisi yang menjadi kepercayaannya ikut masuk bersamaan dengan ayahnya. “Duduk kalian!” suruh Teddy yang kini sudah duduk di sofa. Irwan tanpa berlama-lama langsung duduk di hadapan Teddy, begitu pun dengan polisi tersebut.

“Kenapa dateng–”

“Mahesa.” Satu kata yang keluar dari mulut Teddy membuat Irwan mengerti maksud kedatangan papanya ke kantornya. “Cabut gugatan buat dia.”

Irwan melihat ke arah pak polisi yang berada di sebelahnya, berusaha meminta penjelasan. Bapak polisi itu lantas berkata, “Begini, Pak Irwan, setelah diselidiki, kami menemukan kejanggalan dari rekaman kamera CCTV, seolah-olah ada seseorang yang mengedit rekaman tersebut.”

Irwan terkekeh. “CCTV bisa diedit?” tanyaya. “Itu bisa saja terjadi,” jawab pak polisi. Mendengar jawaban dari polisi tersebut, Irwan terkejut dan melonggarkan dasinya. Ia pun melipat kedua lengan jasnya dan menggaruk-garuk rambutnya. “Lalu? Apa ada bukti kalau Mahesa tidak bersalah?”

“Ada, papah saksinya.” Teddy mengeluarkan flashdisk berwarna merah-abu dari saku celananya. “Di sini, di jam tiga sore di tanggal sebelas, CCTV ngerekam kalau Mahesa masih di kantor papah.”

“Itu aja? Gara-gara itu?”

Teddy menggeleng-gelengkan kepalanya. “Enggak dong, banyak CCTV yang nunjukkin kalau Mahesa udah ada di rumahnya lah, lagi ada di kantor lah, yang pokoknya gak sesuai sama rekaman CCTV yang awal,” jelas Teddy.

[TAMAT] 18 At 10 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang