15| War (1)

12 2 0
                                    

“Perang sudah dimulai.” Bona menepuk-nepuk pundak Seyda yang kini sedang sibuk dalam pikirannya.

Sedih, takut, khawatir, dan gelisah berkumpul dalam otak gadis yang akan berusia sembilan belas tahun itu. Ia takut bahwa sebentar lagi aksi Byan yang lebih kejam akan menghampiri salah satu adiknya.

“Revi sama Ravi, Bon …” Seyda mulai menitikkan air mata. “Mereka gimana? Kalau mereka kenapa-napa–”

“Kita lindungin mereka dari sekarang, Sey. Tenang, kamu punya kita bertiga yang bakal bareng terus sama kamu.” Bona memeluk Seyda yang semakin larut dalam kesedihan.

***

Suasana di rumah Byan di sore hari ini sendu. Tak pernah terbayangkan jika Diana, satu-satuya perempuan di keluarga Mahardika, pergi di umurnya yang kelima belas. Seluruh keluarga dan sahabat berkumpul, termasuk Gilang, Arfin, Tegar, dan Dirga yang sedang bersandar ke salah satu dinding rumah Byan sambil mengobrol.

“Diana itu ditusuk tujuh kali sama penculiknya, terus udah di operasi, tapi ternyata grim reaper nyabut nyawanya hari ini,” ucap Dirga. Arfin, Gilang, dan Tegar sontak menghela napas bersamaan, sedangkan Dirga hanya menundukkan kepalanya.

“Ada saksi gak?” tanya Arfin.

Dirga menggeleng. “Sejauh ini sih gak ada.”

Arfin melihat ke arah Byan yang sedang memandangi peti adiknya dengan mata sembab. Di sebelahnya terdapat Irwan dan Teddy yang juga sedang memandangi peti Diana.

“Oh iya, hari ini ‘kan ada pemilihan ketua, diibatalin gak ya?” tanya Tegar.

“Gak tau, gue lagi nanya ke Bang Agas, tapi belum dijawab,” jawab Gilang.

“Kalau gak dibatalin parah sih Bang Agas, adiknya lagi bersedih gini bisa-bisanya pemilihan dilanjut.” Dirga ikut berkomentar.

Baru saja dibicarakan, sosok Bang Agas yang merupakan ketua Leander saat ini tiba di rumah Byan. Dirinya langsung memeluk Byan yang membuat Byan tak sanggup menahan air matanya.

Melihat sahabatnya yang bersedih, membuat Arfin merasa iba jika Byan gagal dalam pemilihan ketua. Ia tanpa berpikir panjang lantas berkata, “Gue ngundurin diri dah jadi ketua, dia aja langsung.”

“Fin, maksud lo apa?” Gilang memutar bahu Arfin hingga mereka beradu tatap.

“Ya gitu,” Arfin mengalihkan pandangannya ke arah Byan. “Byan aja yang jadi ketuanya, gak tega gua lihat dia kalau gagal juga di pemilihan.”

Tegar meninju kepala Arfin tanpa kekuatan. “Gila lu? Lu ‘kan dari SMP pingin banget jadi ketua geng! Lagian Byan juga kalau kalah pasti terima kalau itu beneran murni sama gak curang!” 

“Keputusan gue udah bulet, Gar, Lang, Ga. Bilang aja ke Bang Agas gue jadi wakilnya Byan,” ucap Arfin dengan suara rendah. “Gue lebih baik lihat Byan seneng di saat kaya gini. Ini bentuk hiburan buat dia dari gue, toh gue juga gak minta ditunjuk jadi ketua.”

Gilang, Dirga, dan Tegar menghela napas bersamaan. Mereka tak tahu harus menyahut apa lagi karena jika keputusan Arfin sudah bulat, maka sulit untuk membuatnya mengubah keputusannya lagi. Dirga pun lantas menyuruh Arfin untuk menemui Bang Agas sendiri agar tidak terjadi salah paham.

***

Lima hari kemudian, Arfin dan kawan-kawan sekolah seperti biasa, kecuali Byan yang masih berduka. Entah mengapa, tiba-tiba saja keputusan Arfin kemarin membuatnya bersedih di pagi hari yang tidak terlalu cerah ini.

Gue ikhlas, gue ikhlas Byan jadi ketua. Dah yok, gak usah dipikirin!

Ia lalu berjalan menuju kelasnya sambil menunduk. Di saat inilah, ia tak sengaja menabrak pundak seorang perempuan. Ia hanya menganggukkan kepala sedikit sebagai tanda meminta maaf, tanpa melihat gadis mana yang ia tabrak.

[TAMAT] 18 At 10 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang